blank
Kegiatan yang Uji Kompetensi Wartawan diselenggarakan PWI Jatim. Foto: Widiyartono R.

blankOleh Hendro Basuki

Uji Kompetensi Wartawan (UKW) sudah berlangsung 12 tahun. Setelah disepakati lewat Deklarasi Palembang 2010, UKW telah menjadikan puluhan ribu wartawan dinyatakan kompeten. PWI sendiri telah meluluskan sekitar 15.000 wartawan di jenjang muda, madya, dan utama.

Setelah dinyatakan kompeten, lalu apa? Memang tidak berpengaruh apa-apa pada kesejahteraan wartawan. Banyak yang belum atau tidak ikut UKW toh masih bisa menjalankan kegiatan wartawan. Beberapa alasan kenapa belum atau tidak ikut UKW antara lain, tidak merasa perlu, UKW hanyalah sunah, dan banyak alasan yang lain.

Seharusnya, para wartawan menyadari tentang pentingnya sertifikasi itu. Pembandingnya adalah, tukang batu, perawat, office boy hotel saja mengikuti sertifikasi masak wartawan masih bertanya-tanya gunanya.

Bahwa belum berpengaruh pada peningkatan kesejahteraan itu soal lain. Dan, ini memang begitulah adanya. Mana ada pemilik media peduli dengan sertifikasi?

Penurunan Kualitas

Di internal PWI, kesadaran anggota untuk mengikuti UKW tergolong tinggi. Sejak dimulai tahun 2011, wartawan yang mengikuti sertifikasi via Lembaga Uji PWI telah mencapai 15.000 lebih. Ini terjadi karena, PWI secara rutin menggelar UKW, baik UKW mandiri, fasilitas pemerintah kota/kabupaten/provinsi, kerja sama swasta,  atau pun via Dewan Pers.

Tingginya kesadaran anggota PWI mengikuti UKW patut diapreasi sebagai bagian dari upaya menjaga profesionalisme wartawan.

Mereka mengikuti secara berjenjang mulai dari muda ke madya, lalu ikut utama. Berbeda dengan di awal UKW dulu, peserta sekarang tidak bisa langsung mengikuti jenjang utama.

Harus diakui secara kualitas pelaksanaan UKW terjadi penurunan dari waktu ke waktu. Penurunan ini bisa dilihat dari beberapa aspek misalnya, pemahaman membaca perintah setiap mata uji oleh penguji dan peserta, metode dan proses pengujian, pemberian nilai, terlalu mudahnya kompromi terhadap tingkat kemampuan peserta uji, menurunnya disiplin, dan sebagainya.

Tingkat penyaringan peserta uji juga menurun yang ditandai dengan titipan dari provinsi. Mereka yang tidak diketahui posisinya sebagai wartawan di mana, sudah berapa lama berprofesi, tiba-tiba ikut UKW. Kepentingannya, ternyata hanya Pekan Olahraga Wartawan (Porwanas).

Betapa menyedihkan. Nilai kompetensi wartawan yang hanya setara ikut kompetisi olahraga yang sebenarnya bukan untuk mengejar prestasi. Gengsi UKW cukup dikonversi dengan kepesertaan pekan olahraga. Jadi, UKW diturunkan nilainya oleh kalangan sendiri.

Kelalaian

Terhadap hal yang terakhir masih banyak penguji yang menjaga integritasnya. Bagaimana mungkin, membuat kalimat saja tidak bisa harus diluluskan? Hal seperti ini dan derivatnya, banyak berlangsung.