Oleh : Jamhari
JEPARA (SUARABARU.ID)– Sejak dikembangkan oleh RA Kartini dengan membangun kerjasama dengan Oes en West, sebuah lembaga perdagangan yang didirikan khusus oleh pemerintah Belanda untuk membeli hasil kerajinan dari Hindia Belanda, industri mebel ukir Jepara menjadi ikon kota Jepara dan kian dikenal dikancah nasional maupun internasional.
Apalagi kemudian, pada tahun 1929 pemerintah Hindia Belanda mendirikan Openbare Ambachsshool atau Sekolah Pertukangan dengan Jurusan Seni Ukir. Di sekolah inilah generasi muda seniman ukir dididik dengan berbagai motif seni ukir Nusantara. Hingga tahun 1956, Openbare Ambachsshool yang kemudian berubah menjadi Sekolah Teknik Pertama dan Sekolah Kerajinan Negeri ini telah berhasil meluluskan 1859 siswa.
Bahkan sekolah ini kemudian dikembangkan menjadi Sekolah Teknik Menengah dengan Jurusan Dekorasi Seni Ukir usai Presiden Soekarno mengunjungi sekolah ini tahun 1955. Pada dua sekolah inilah lahir seniman ukir terdidik, yang kemudian menjadi pilar.
Pengakuan ini semakin kuat saat presiden Soeharto memamerkan masterpiece produk mebel ukir khas Jepara di Istana Negara. Ruangan khusus ini diberi nama Ruang Jepara, tempat kepala negara menerima para tamunya dari berbagai negara. Jadilah ruangan ini menjadi ruang pamer seni ukir Jepara
Sekitar 30 tahun yang lalu, industri ini mulai mendapatkan milestone baru berupa pasar ekspor yang terbuka lebar, ketika para pengusaha asing mulai mempertemukan selera pasar mebel reproduksi klasik Eropa dengan pusat produksi berbasis talenta alami para pengrajin mebel ukir Jepara. Kebangkitan ini diawali dengan even Jepara Handy Craft Exibition in Bali pada bulan Juli 1989. Pameran yang digelar di Hotel Puteri di Nusa Dua Bali mampu menarik perhatian para pembeli manca negara, termasuk buyers.
Sepuluh tahun berikutnya, industri mebel taman ( garden furniture ) dengan kekhasan berupa produksi berpola massal dan berbasis mesin juga ikut berkembang. Dalam perkembangan mutakhir, ekspor produk mebel dengan COO ( Certitikat of Origin ) Jepara sudah mencapai 200 juta USD atau sekitar 3,1 trilun pertahun. Nilai ini masih akan jauh lebih besar mengingat Jepara juga adalah basis produksi berbagai Perusahaan dengan COO ekspornya dari luar Jepara.
Angka tersebut belum termasuk total nilai produksi mebel untuk pasar domestik, yang meskipun belum ada data pastinya, tapi diperkirakan tidak kurang dari 70 persen dari nilai total ekspornya. Dengan demikian, nilai total produk industry ini diperkirakan mencapai sekitar 7 trilyun rupiah pertahun.
Dengan anggapan semua bahan baku dan bahan penolong diimpor dari luar daerah, perkiraan biaya tenaga kerja rata rata sebesar 27 persen, dan benchmark marjin keuntungan sebesar 3 persen, maka setidaknya minimal 2,1 trilyun uang cash dari industri ini menghidupi sekitar 130 ribu pekerjanya.
Juga masuk masuk ke perekonomian daerah menjadi lokomotif sektor lain terutama sektor perdagangan yang bersama sama sektor pengolahan juga menjadi penyumbang sekitar 30 persen PDRB Jepara dari tahun ke tahun semenjak dahulu.
Dengan nilai total output yang sangat siginifkan bagi perekonomian daerah, industri mebel/ukir Jepara ternyata menghadapi banyak kendala dalam pengembangannya. Secara internal, indsutri ini menghadapi masalah daya saing yang cukup serius. Liberalisasi pasar memang mebuka peluang terbukanya pasar global yang sangat besar, tetapi juga sekaligus ancaman bagi masuknya produk mebel asing dengan daya saing yang lebih baik.
Ketidakmampuan industri ini untuk mentrasformasi metode produksi tradisionalnya ( bahkan sering dianggap secara keliru sebagai keunggulan ), keterbatasan pengembangan design untuk menyesuaikan selera pasar, dan ketergantungannya kepada kayu jati solid membuatnya kalah bersaing di pasar dengan produk substitusinya.
Kondisi ini diikuti dengan permasalahan ikutannya seperti nilai tukar pekerjanya yang cenderung menurun sehingga ketika ada industri pesaing dalam pasar tenaga kerja, generasi muda kurang tertarik untuk masuk ke industri mebel ini. Tenaga kerja industri mebel mulai menua dan cenderung gagal melaklukan regenerasi, yang karena produktifitasnya juga menurun, akhirnya berpengaruh kepada daya saing industri ini.
Secara eksternal, salah satunya, peran serta pemerintah untuk terlibat dalam pengembangan makro industri ini khususnya pemerintah kabupaten Jepara juga semakin menurun. Penurunan ini bermula dari kegagalan pemahaman peran pemerintah sebagai sebatas alokasi anggaran fasilitasi pameran.
Keengganan untuk menelurkan berbagai kebijakan pro mebel dan memprogramkan kegiatan yang lebih makro strategis dipicu juga kesalahpahaman pemerintah mengenai peran industri ini yang sekedar dibaca dari nilai nominal sumbangannya terhadap Pendapatan Asli Daerah bila dibandingkan dengan “mainan baru” pemerintah yaitu berbagai industri dengan pengelolaan yang lebih formal seperti industri padat karya yang belakangan banyak merelokasi diri ke Jawa Tengah, khusunya Jepara.
Masalah upah di sektor industri mebel ini seringkali disalahpahami oleh pemerintah sebagai perilaku tidak adil pengusaha terhadap pekerjanya, dengan sekedar perbandingan angka nominal sederhana tanpa melihat fakta lebih dalam. Padahal, peran serta industri dalam sebuah perekonomian seharusnya lebih dilihat dalam porsinya terhadap PDB/PDRB.
Dengan model perhitungan serupa, sumbangsih industri mebel sangat berani dibandingkan dengan sumbangsih industri padat karya bagi PDB/PDRB. Berapa total penghasilan pekerja sektor padat karya yang persentase pekerja asli Jeparanya hanya sekitar 24 persen dari total pekerjanya ? Bahan baku semua diimpor, produk juga masuk pasar ekspor ( non ppn ), keuntungan juga ditransfer keluar negeri sehingga potensi pajak penghasilannya biasanya diminimalkan. Hanya mereka memang memiliki potensi pajak daerah yang cukup besar.
Pemerintah, sebenarnya cukup memahami masalah mikro pengupahan, tetapi seolah menutup mata bahwa upah tukang kayu/ukir sebenarnya rata-rata sudah jauh diatas UMK. Kalau hanya menunjuk upah buruh amplas yang kebanyakan wanita yang cukup lanjut usianya, harus dibandingkan dengan produktifitasnya juga.
Mereka yang menggunakan mekanisme borong membuktikan bahwa dengan produktifitas yang baik, pendapatan mereka juga jauh diatas UMK. Angkatan kerja penduduk Jepara tidak hanya mereka yang lolos terseleksi ke industri formal dengan aturan kerja yang kaku dan target kinerja yang tinggi. Kebanyakan malah nyaman dengan pola kerja yang luwes dan fleksbel ditengah keharusan untuk tetap memelihara berbagai tradisi sosial yang ada. Hanya memang, di kebanyakan industri mebel, aspek kesehatan lingkungan kerja agak kurang diperhatikan.
Sebenarnya ada cukup banyak bauran kebijakan yang bisa dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mendukung keberpihakannya kepada industri mebel ukir Jepara ini. Apalagi memang sudah ada Perda no 2 tahun 2014 yang menjadi dasar hokum. Sayangnya sampai saat ini belum pernah diwujudkan aturan turunannya agar bisa menjadi aktual dan menjadi dasar dari political will dan visi pembangunan ekonomi pemerintah dalam pengembangan dan pelestarian industri mebel/ukir Jepara ini.
Butuh komunikasi yang lebih intens dan terbuka, yang akan melahirkan pemahaman yang lebih mendalam tentang kebijakan apa yang dibutuhkan. Pada saat bupati Jepara dijabat oleh bapak Hendro Martojo, yang terpilih pada periode pertamanya oleh DPRD, dan belum ada perda, political good will terhadap industri mebel justru terasa sangat kuat. Dari sisi anggaran, anggaran 1,5 M dari total APBD yang masih di sekitar 900 M. Itupun masih dibarengi dengan rajinnya para pejabat terkait untuk “nyonggek” anggaran pusat ( DAK ) yang jumlahnya jauh lebih besar dari kemampuan APBD.
Pada tahun anggaran 2023, alokasi dukungan untuk industri mebel hanya berupa dana fasilitasi pameran sebesar total 350 juta dari total APBD sebesar 2,5 trilyun. Yang lebih memprihatinkan, bahkan pemkab sama sekali tidak proaktif ketika ada tawaran untuk mendirikan politeknik industri mebel yang kemudian ditangkap oleh Pemerintah Kabupaten Kendal. Pemkab juga terlihat acuh dengan tawaran pendirian material centre untuk industri mebel/ukir dari Kementerian Perindustrian. Usulan untuk revitalisasi JTTC pun ditanggapi dengan sangat mengecewakan.
Kita semua tahu, sistem politik berbasis pemilhan secara langsung sudah seharusnya melahirkan kesadaran elektoral dikalangan para pejabat pemkab Jepara, baik eksektifnya mapun legislatifnya. Para pemangku kepentingan dari kalangan industri ini, melalui konfederasi asosiasinya, harus lebih banyak menyuarakan kepentingan makronya, bukan mikro individunya sehingga tidak terjebak dalam fenomena pengusaha “pengemis” bantuan.
Untuk itu harus lebih banyak berdiskusi internal dulu agar bisa memformulasikan usulannya dengan baik dan operasional. Sementara, pemerintah tidak seharusnya “menghadang” berbagai inisiatif usulan ini dengan kalimat unik khas njeporonan “pengusaha kok njaluk dibantu”.
Akibat dari komunikasi yang kurang baik inilah yang pada akhirnya menimbulkan ketidakpuasan di kedua belah pihak yang seharusnya bekerja sama dengan baik. Ketidakpuasan yang melahirkan dampak politis. Kalangan mebel merasa menjadi “anak kandung” yang “dianaktirikan”.
Wajar kalau berbagai kalangan industri mebel mulai menyuarakan untuk ikut serta mengirim perwakilan terbaiknya dalam kontestasi Pilkada Jepara 2024. Ibarat gadis cantik, keluarga besar industri mebel setidaknya memiliki captive electoral sebanyak lebih dari 200 ribu pemilih. Kepentingan industri ini tidak bisa lagi sekedar dititipkan kepada “orang lain”.
Dalam hal ini penulis teringat pesan pak Jokowi waktu masih menjadi walikota Solo periode kedua awal : “Mas, Njeporo kudu dicekel wong mebel. Mosok Solo, wae dicekel wong mebel. Aku ra iso mbayangke Njeporo ora dicekel wong mebel.” Sepertinya, Sebagaimana Indonesia, Njeporo memang butuh kiprah tukang kayu.
Penulis adalah seorang pengusaha di Jepara