blank

Oleh : Hisyam Zamroni 

Terlepas dari ragam makna filosofis tentang Kupat dan Lepet, ada hal yang menarik jika kita telisik lebih jauh dari sisi  makna cerdas  yang disuguhkan  oleh  Walisongo terhadap hadits Kanjeng Nabi Muhammad SAW tentang anjuran puasa 6 (enam) hari di bulan syawal  setelah Bodo  Iedul Fitri. 

Walisongo memaknakan hadits tentang anjuran puasa 6 (enam) di bulan syawal setelah Bodo Iedul Fitri tidak hanya dari sisi “fiqih” tapi juga dimaknai dari sisi “budaya” dengan  harapan agar menjalankan puasa 6 (enam) hari di bulan syawal menjadi “tradisi baik” bagi masyarakat yang juga disudahi dengan istilah “bodo” yang kemudian disebut “bodo cilik atau bodo kupat lepet” melalui  acara “lombanan”. 

Bodo Cilik atau Bodo  Kupat Lepet  adalah “rangkaian ibadah” yang diawali  dari puasa Ramadhan yang diakhiri dengan riyoyo, lebaran dan bodo  Iedul Fitri yang setelahnya,   dilanjutkan dengan puasa  6 (enam) hari di bulan syawal yang  diahiri dengan hari  Bodo Cilik atau Bodo Kupat Lepet yang kemudian  di implementasikan melalui perayaan  “lombanan” sebagai ungkapan rasa syukur telah tuntas menjawab “sapaan”  Gusti Allah SWT yang wajib yaitu berupa puasa Ramadhan yang dilanjutkan dengan  sapaan Kanjeng Nabi Muhammad SAW yaitu   berupa puasa sunnah  enam (6) hari  di bulan Syawal. 

Lombanan adalah hari “Maritim Nusantara” yaitu ekspresi spiritual yang berupa “sedekah laut” yang dilakukan oleh masyarakat pesisir di seluruh Nusantara sebagai rasa syukur kepada Gusti Allah SWT dengan landasan teks agama yang  kokoh yaitu “pen-tuntas-an” ritual ibadah sunnah puasa enam (6) hari setelah hari raya Idul Fitri. Hal ini menunjukkan bahwa keberagamaan dan kebudayaan adalah sinergis yang  boleh jadi melalui kecerdasan memaknai teks teks agama bisa menjadi budaya yang mentradisi dari waktu ke waktu sehingga kemudian tercipta Peradaban Baru. Sebaliknya setelah acara  lombanan maka pada bulan dzul-kangidah melaksanakan “Kabumi” atau sedekah bumi yang disebut hari “Hari Bumi Nusantara”  yang dilaksanakan di desa desa se Nusantara. 

Tafsir Cerdas Walisongo terhadap teks suci  ini menjadikan proses  keberagamaan tidak “kering kerontang” atau “mabni” akan tetapi menjadikan  beragama selalu “hidup” atau “mu’rob”  karena mampu bersinergi dengan situasi, kondisi dan sosio-kultural yang dihadapi dan dilaluinya secara berkelanjutan dari masa  ke masa. 

Semangat tafsir Walisongo ini harus menjadi inspirasi bagi generasi sekarang untuk selalu berinovasi atau selalu  “menafsir ulang” atau “re-interpretasi” terhadap teks dalil agama dengan realitas yang dihadapi tanpa mencerabut akar agama yang sudah “pakem”, sebagaimana pitutur Kanjeng Sultan Agung; 

“Agama itu laksana Syair sedangkan yang berubah adalah gendingnya yang menyesuaikan dengan langgam li zamanin wa makanin”.

 

Penulis adalah Wakil Ketua PCNU Jepara