JC Tukiman Tarunasayoga
TERKAIT kata watak, ada beberapa ungkapan menarik apabila digabung dengan kata lainnya. Misalnya, watak kuwi beda karo watuk.
Ketika ditanyakan apa bedanya, orang umumnya menjawab: Watuk (batuk) mudah disembuhkan, sedang watak terbawa sampai mati. Benarkah begitu? Mari lihat sendiri fakta sehari-hari dalam kehidupan bersama ini.
Terkait “terbawa mati” itulah ada ungkapan watak wantu, yakni dhedhasaring bebuden kang ginawa tekan mati; sebuah ungkapan untuk menyangatkan makna watak sebagai pondasi budi pekerti.
Dan karena ia sebuah pondasi atau sebutlah akar, maka budi pekerti (tertentu) itulah yang terus dijalankan dalam kehidupannya, bahkan terbawa sampai mati.
Baca juga Ngregem Kemarung
Contohnya watak serakah. Jika serakah benar telah menjadi watak seseorang, di mana pun dan dalam hal apa pun, watak serakah itu terus muncul, menggejala, ora ilang, bahkan dapat sangat merajalela apalagi orang itu punya taring, misalnya.
Inilah contoh konkret watak-wantu tadi. (Catatan: wantu itu artinya kerep, ambal-ambalan, berulang kali; tanpa kendhat, tidak terputus).
Ora watak
Jadi, kata watak (di beberapa tempat disebut dengan watek) kecuali berarti dhasaring bebuden; juga berarti sifat dalam kaitannya dengan kondisi dan sifat permanen yang ada dan dominan dalam diri seseorang.
Terkait dengan watak serakah tadi, pasti sifat itulah yang dominan dalam diri orang itu, meskipun khalayak menyebut orangnya baik, sabar, murah hati. Baik, sabar, dan murah hatinya memang ada, tetapi tidak dominan, sebutlah asesoris saja. Kala-kala ketok apike, sabare, loma-blabane, sebutlah begitu; sedangkan pada dasarnya bukan begitu.
Baca juga Awas Lho Pak: Kemaruk dadi Kemarung
Ada ajakan dan ajaran moral sangat bagus terkait watak ini, yaitu sikap kesatria yang patut dikembangkan oleh setiap orang lewat pocapan ora watak. Supaya jelas, ora watak ini perlu diterangkan lewat contoh konkret. Pak lurah Suka Maju memang hebatnya hebat seorang lurah di antara lurah-lurah lainnya. Banyak terobosan dilakukan, rakyat suka padanya, apalagi terus diajak maju.
Maka ora watak jika tiba-tiba ia jebul suka lirak-lirik terhadap istri pak carik. Bukan hanya lirak-lirik kepadanya, jebul si istri carik itu sudah dirancang untuk dijadikan punggawa baru tahun depan.
Cukup sampai di situ? Ternyata tidak, jarene wong akeh, ia sudah dibuatkan rumah baru di dusun Suka-suka di lereng gumuk itu. Pamrihe apa, apa maksudnya? Ee…..jebul kelak akan dijadikan bu lurah (baru).
Ini contoh ora watak tadi. Jelasnya, kepriye? Ora watak memberi makna mendalam karena artinya ora patut mungguhing ………… Titik-titik ini harus diisi subjek tertentu, sebutlah pak lurah Suka Maju di atas. Jadi, kalimat lengkapnya menjadi: Ora patut mungguhing Pak Lurah Suka Maju kok tumindak mangkono; sangat tidak layak lurah begitu itu. Ora watak.
Selanjutnya, mari kita perbanyak contohnya. Ora watak menteri kok korupsi; ora watak anggota DPR-RI kok beler (malas) rapat; ora watak pejabat teras kok dremis jaluk-jaluk anake dijadikan anggota kabinet, dst., dsb.
Intinya, bersemangatkan ora watak, kita diajak dan diberi pengajaran tentang sikap kesatria dalam hidup ini. Kata kuncinya ada dalam kata ora patut. Jelas ora patutlah, mosok sampeyan tuh bupati, kok ngemis-ngemis ke kepala SMP agar anakmu bisa jadi guru di sekolah itu mbuh piye carane.
Ya jelas ora patutlah lurah kok merekayasa merebut istri cariknya.
Ayo Lurrrrrrrrrr, kesatria sithiklah.
JC Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Soegijapranata Catholic University