JC Tukiman Tarunasayoga
WARGA seluruh desa tahu, Pak Lurah baru saja sembuh dari sakit bertahun-tahunnya. Bisik-bisik warga, konon pak lurah mengidap jenis penyakit langka yang sangat dirahasikan dokter. Tidak seorang pun tahu nama penyakitnya.
Tetapi, kini beliau telah segar-bugar; omongannya terasa semakin lantang, gestur tubuhnya terasa semakin enteng-lincah, bawaannya semakin sumringah. Dan, ……… yang paling nampak dari semua perubahan atas kesembuhannya itu, ialah Pak Lurah kelihatan sekali sedang kemaruk.
Sampai-sampai pernah suatu hari di saat ada makan bersama di aula kelurahan, karena melihat betapa kemaruk-nya Pak Lurah, Pak Carik berkelakar: “Awas pak, kemarukmu bisa dadi kemarung(mu), lho!!” Lalu mereka berdua tertawa terkekeh-kekeh, sementara punggawa lainnya hanya senyum-senyum ora mudheng.
Maruk, kemaruk
Di beberapa tempat, dalam percakapan sehari-hari, orang cukup mengatakan maruk ketika melihat ada seseorang yang akeh banget enggone mangan, makan banyak sekali.
Orang bergejala seperti itu umumnya karena ia baru saja sembuh dari sakit. Namun bisa juga, karena ia kelaparan, begitu ada makanan, sikat saja makanan-makanan itu untuk memuaskan laparnya. Seperti itulah maruk.
Baca juga Githir = Kesusu??
Di banyak tempat, ungkapan maruk menjadi terasa semakin mantap ketika disebutkan dengan sedikit tekanan mengucapkannya, yakni: kemaruk.
Maknanya pun semakin lengkap bila disebut kemaruk, bukan saja untuk melukiskan mangane akeh, makannya banyak; tetapi kemaruk juga bermakna bungah banget amarga saiki duwe apa wae, kamangka wingi-wingi durung duwe.
Maksud ungkapan ini, seseorang, -mungkin termasuk pak lurah tadi- , saat ini kelihatan sangat bahagia karena ia merasa sedang memiliki apa saja, padahal kemarin-kemarin hal itu hanya diinginkan saja berhubung ada berbagai hambatan.
Hasratnya ingin memiliki apa saja keturutan, kesampaian: Barang atau benda apa saja, semahal apa pun dibelinya. Jabatan apa pun yang diinginkan dapat dicapainya sekarang. Tegasnya, orang itu bungahi, melampiaskan laparnya, segala keinginannya tercapai. Itulah kemaruk, bukan saja terkait dengan “keserakahannya” pada masalah sandang, pangan, papan, namun juga sangat mungkin pada jabatan.
Kemarung
Pertanyaannya, tidak bolehkah orang kemaruk? Jawabannya boleh-boleh saja, sumangga kersa. Meski begitu, kelakar pak carik tadi sebaiknya didengarkan betul-betul sebagai peringatan pribadi: Awas pak, kemarukmu bisa dadi kemarungmu!
Kemarung, itu duri yang semula berupa akar tumbuhan gembili, seperti gadung. Semakin tua akar-akar gembili itu menjalar ke mana-mana, dari akar semacam itu menjadilah duri yang berwarna hitam.
Ri kemarung, begitu orang sering menyebutnya, adalah duri sangat tajam dan menyakitkan sekali bila terinjak. Ada banyak sekali jenis tumbuhan yang berduri, tetapi pada umumnya duri itu tumbuh di batang, cabang, atau ranting-rantingnya.
Ri kemarung bukan seperti itu karena tumbuh dari akar, dan berarti menempel di permukaan tanah.
Makna terdalam dari peringatan Pak Carik, ialah: Ngono ya ngono, pas dhong kemaruk ya silahkan kemaruk, tetapi ingatlah bahwa suatu saat akar-akar gembili kemarukmu sangat mungkin tumbuh berkembang menjadi ri kemarungmu.
Sudah banyak contoh terjadi, dan semuanya telah mengajarkan lewat pesan-pesan moralnya: Ati-ati, sandang, pangan, papan, jabatan, dan apa saja itu sementara saja masa berlakunya. Kurang waspada, kabeh bisa dadi ri kemarung yang sangat mungkin akan terinjak sendiri. Aduhhhhhhhh…………….larane!!
JC Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Soegijapranata Catholic University