blank
Ilustrasi. Reka: wied SB.ID

blankJC Tukiman Tarunasayoga

BERBAHASA itu seringkali identik dengan rasa pengrasa, yakni ada olah rasa; sering berpikir tepat atau tidak menggunakan kosakata tertentu.

Mungkin juga bertanya-tanya sopan atau tidak apabila menyapa orang yang lebih tua/dewasa saya berkata: Mruput banget Pak, arep mangkat endi? (Tumben pagi sekali Pak, mau berangat ke mana nih?)

Dalam ungkapan Bahasa Indonesia rasanya tidak ada yang janggal bertutur sapa seperti itu; padahal dalam Bahasa Jawa, menjadi sangat pas apabila kata mangkat diganti tindak;  sehingga sapaannya menjadi: Mruput banget Pak, badhe tindak endi?

Jangankan berupa sebuah kalimat, pemakaian satu patah kata saja sering membutuhkan olah rasa terkait tepat tidaknya, sopan atau norak; cocok atau tidak cocok. Contohnya penggunaan kata githir dan kesusu, sementara dua kata itu sekilas maknanya sama, yaitu rikat, banter, cepet; sebutlah segera.

Contoh soal: Saat sekarang ini  calon pemenang Pileg sudah semakin kelihatan. Dan ada saja euforia “merayakan” kemenangannya. Dengan suara lantang seorang calon anggota DPRD sudah berucap: “Nanti akan saya usulkan jaringan internet gratis di seluruh wilayah kabupaten. Juga akan saya dobrak APBD, sehingga nanti akan ada sarapan pagi gratis untuk semua anak sekolah.”

Mengapa justru sarapan pagi, bukannya makan siang yang digratiskan? Ia menjawab: “Kan sudah ada rencana maksi gratis, tetapi sarapannya belum?”  Contoh lain yang berseliweran di berbagai media sosial pun juga sering terbaca, misalnya Menteri Anu akan digantikan oleh Ana; dan nanti si Ani pasti akan jadi Menteri, dst. dst.

Baca juga Angket atau Angker

Bisa diperpanjang dan rupanya sah-sah saja karena euphoria; namun intinya adalah pertanyaan ini: Contoh-contoh semacam itu lebih tepat disebut githir atau kesusu? (Jawaban spontan penuh olah rasa pasti akan langsung berkata: Kesusu!! Lho, kok bukan githir?)

Githir

Di beberapa daerah kata githir ini searti dengan kata inthar; dua-duanya bermakna rikat, yaitu cepat bahkan ada nuansa lari karena suatu sebab. Kalau inthar, sangat tepat dipakai untuk menggambarkan betapa seseorang (anak, misalnya) berjalan cepat-cepat karena takut melewati kuburan. “Wahhhhh……… Boy mesthi inthar yen liwat dalan iki, melukiskan betapa Boy mesthi setengah lari-lari jika melewati suatu tempat di kampungnya. Mengapa? Takut terhadap kuburan.

Lari-larinya Boy  seperti itu tepat disebut inthar, tetapi kurang tepat disebut githir, padahal githir juga artinya rikat, lumayu banter;  berjalan segera atau bahkan berlari-lari.

Mengapa kurang tepat? Boy tepat disebut githir manakala ia berlari-lari ingin segera menunaikan tugasnya membeli sebungkus rokok dan korek ke sebuah warung karena paman yang katanya dhekenge pusat mengatakan: “Belikan sebungus rokok Anu dan korek ya, kembaliannya untuk Boy.”

Ungkapan paling tepat untuk  Boy yang berulah seperti itu  githir, karena ia diberi seratus ribu rupiah oleh paman yang baru datang dari pusat tadi. Lumayan akeh susuke, uang kembaliannya lumayan banyak nih.

Jadi, githir bernuansa ada rasa senang, penuh harapan, wis ta nyenengke;  sementara inthar ada nuansa bersegera karena takut, segera ingin lepas dari situasi yang dirasanya kurang menyenangkan.

Kesusu

Nah, lain githir, lainlah dengan kesusu. Jawaban spontan “Kesusuuuuuuu” pada contoh awal tadi sebenarnya sudah sangat tegas dan jelas; yaitu makna kesusu itu ialah rerikatan enggone tumandang, serba mau cepat-cepat saja mengerjakannya.

Dalam ungkapan sehari-hari, orang kesusu itu sering disebut: Kaya yak-yak-a; seperti orang yang tidak sabar, dan ingin segera melakukan sesuatu. Bahkan lebih dari itu, orang disebut “kaya yak-yak-a” itu karena ia merasa paling pintar, paling tahu, paling cepat, dsb.

Kalau dalam permainan voli (olahraga saya sewaktu muda), sangat sering teman main yang “kaya-yak-yak-a” ini mesti bengok-bengok minta diberi umpan kepadanya karena dia pengin segera smash.

Baca juga Ketua DPRD Kudus: Pembangunan Infrastruktur Pengendali Banjir Harus Segera Direalisasikan

 Ledekan yang sering muncul, ialah: Ah, Boy tuh “kaya yak-yak-a”  lalu teman-teman lain menimpali: “Bareng di-yak-i luputtttt;” seolah mau smash mematikan, tetapi ketika diberi umpan, luputtttt.

Ada nuansa kurang sedap dalam kesusu ini, yaitu di samping “bareng di-yak-i luputttt” orang serba tergesa itu pada dasarnya sering karena ada beberapa penyebabnya, seperti (a) tidak sabar(an), (b) takut atau malu kedahuluan orang lain, (c) wedi konangan, takut ketahuan, dan (d) gege mangsa, menangguk nasib, dhisiki kersa, mendahului kehendak.

Dua hal terakhir ini yang sering tidak disadari oleh pihak yang kesusu, padahal justru dua hal terakhir ini yang sangat dilihat oleh jutaan mata masyarakat seraya penuh bertanya: Memangnya ada apa sih kok kesusu?

Pertanyaan ini sangat wajar mengingat wong wedi konangan, takut ketahuan dan gege mangsa sangat mudah terlihat oleh masyarakat.  Piye nalare?  Ungkapan perasaan dan dorongan emosi(onal) di saat euphoria biasanya sangat terlihat lewat tindakannya, kata-katanya, bahkan selorohnya, gimmick-nya, dsb.

Pesan moralnya memang: Kesusu ngoyak sapa? Atau lebih tepatnya: “Kok kesusu, dioyak apa?” Apakah ada hal yang mengawatirkan? Bukankah semuanya sudah  ada waktu dan mekanismenya?

JC Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Catholic Soegijapranata University