blank
Ilustrasi. Reka: SB.ID

JC Tukiman Tarunasayogablank

MARI kita doakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) baik lembaganya maupun lebih-lebih orang-orangnya yang bekerja di dalamnya. Mereka saat ini benar-benar sedang letih, lesu dan berbeban berat karena banyaknya permasalahan yang sedang dihadapi.

Memang ada saran secara spiritual” “Datanglah kepada-Ku kamu semua yang letih, lesu, dan berbeban berat; Aku akan memberimu kelegaan.” Artinya, bawalah semua permasalahan itu sebagai bagian dari pasrah kita kepada Allah, “Ya Allah, kami sudah berusaha bekerja keras dan cerdas dengan semangat salah boleh, tetapi jangan bohong.”

Nah, sekali lagi, mari teman-teman di KPU di mana pun mereka berada/bekerja, kita doakan secara tulus, pun legawa, selegawa mereka yang telah mengakui kemenangan “lawan.”

Di masyarakat

Namun, tentu tidak segampang itu yang sedang terjadi dalam masyarakat; maksudnya tidak segampang “mari kita doakan,” sebab fragmentasi dampak pilihan yang sedang/masih terjadi dalam masyarakat masih butuh waktu empat puluh hari untuk akhirnya mulai surut bagi yang selama ini masih “banjir,” atau pun mulai mendingin bagi mereka yang selama ini masih panas.

Baca juga Kalah Cacak, Menang Cacak

Persoalannya, empat puluh hari itu dimulai dari mana, apakah mulai dari 10 Februari 24, ataukah jangan-jangan baru mulai setelah 20 Maret 24?

Dalam masyarakat yang sedang terfragmentasi, ada saja yang berteriak: “Salah ya seleh:” maksudnya, barang siapa berbuat salah (curang? atau sengaja melakukan kesalahan?) ya harus seleh. Bacalah seleh ini seperti Anda mengucapkan weleh…….weleh……weleh si komo lewat……….; dan artinya ialah leren (sama pengucapannya) yaitu berhenti.

Harus berhenti, seperti apa? Nah, inilah permasalahan lainnya, karena berhenti dalam konteks ini dapat bermakna ganda; di antaranya bisa saja berhenti sehari untuk refreshing total agar lusa segar dan fresh kembali. Bisa saja leren dalam arti rotasi tugas.

Satu hal yang tidak boleh adalah leren dalam arti meninggalkan tugas dan tanggung jawab, escape atau ngilang. Jangan! Jika ada seruan salah ya seleh lebih bersifat seruan moral agar siapa pun mengutamakan tingginya tanggungjawab dan profesionalitas. Bila dengan seruan itu tanggungjawab dan profesionaliras terpacu, nahhhhhh inilah hebat.

Boleh/bisa salah, asal jangan bohong; hendaklah  tetap menggema merdu di relung hati setiap komisioner berikut staf pendukungnya. Ini basis fundamentalnya, dan di atas itulah didirikan bangunan dan semangat bekerja 24 jam.

Memang, tetap perlu didengarkan, karena meski pun semangatmu  begitu, lagi-lagi berhubung sangat variasinya mastarakat, pasti ada saja yang berseru: “Bohong bodong.”

Bodong bermakna macam-macam. Mobil atau sepeda motor yang tidak dilengkapi nomer plat atau pun surat-surat resmi seperti BPKB, disebutnya mobil bodong. Anak yang nampak ngah-ngoh… kelihatannya kok kurang pintar, sering juga disebut cah bodong.

Dan makna bodong yang sangat dikenal khalayak yang berkaitan dengan wudel atau pusar, karena wudel sing menjoto, mlenthu, yaitu pusar yang menonjol keluar, itulah yang disebut wudele bodong.  (Lalu ingat salah satu kakak yang sudah almarhum, sejak kecil ia dipanggil Bodong karena memang pusarnya menjoto).

Seruan bohong bodong tentu maksudnya barang siapa berbohong, pusar Anda akan menonjol/keluar. Atau, juga wanti-wanti, awas lho, jangan berlaku bodoh dan kelak dipanggil bohong, dirimu.

Seruan moral salah seleh, bohong bodong  pasti akan terus bergema bukan hanya karena KPU “lagi dadi lakon” saat ini. Bukan!  Dalam segala perkara hidup sehari-hari, secara moral setiap orang diharapkan aja salah lan aja bohong/goroh; hendaklah jangan melakukan kesalahan, apalagi bohong/tidak jujur. Meski pun dalam kenyataan sehari-hari sangatlah sulit menemukan orang sempurna seperti  itu, toh sebagai seruan dan ajaran moral tetap saja bergaung.

Bahkan kalimatnya lebih lengkap lagi: Sapa salah, seleh; sapa bohong, bodong; menyentuh dan ditujukan kepada siapa saja. Kalau dalam Bahasa Indonesia, rumusannya kurang lebih: Barangsiapa bersalah, mundurlah; dan barangsiapa tidak jujur, ……………. menonjollah pusarmu, hehehehe (bukan hidungnya seperti Pinokio, melainkan pusarnya):  hihihihi………maluuuuuuu).

JC Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Soegijapranata Catholic University