Terminal Pulogadung (dulu) semasa angku8tan Lebaran. Foto: Dok Ant

SETIAP pertengahan bulan puasa, ingatan saya kembali pada terminal Pulo Gadung. Saya masih ingat, lebaran tahun 1990, harga tiket tertulis di kaca bus Rp 8.000. Namun saat bus berjalan, oleh kawanan calo, penumpang diminta bayar Rp 12.500.

Karena uang saya agak mepet, saya menolak! Kalkulasi saya, para penumpang iu mendukung saya. Ternyata, mereka hanya menonton. Karena saya terus ngeyel, bus diberhentikan kawanan calo.

Saya lalu diajak turun dan menjauh dari bus, ke tengah sawah sekitar 100 meter dari jalan raya. Mereka mengajak nego, jika saya mau diam dan tidak memprovokasi penumpang lain, saya diberi uang rokok dan tiket free.

Walau saat itu bekal saya pas-pasan, saya pilih ngeyel untuk memperjuangkan penumpang lain. Karena tidak ada kesepakatan, bus putar balik dan penumpang telantar di pinggir jalan raya Karawang.

Saya mencoba mencari bantuan. Dalam kegalauan itu saya jalan ke arah timur, dan pada jarak 300 meter, ketemu penjaga perumahan. Saya  bertanya, apakah di perumahan ada yang anggota polisi?

Saya lalu diantar ke rumah Polisi asal Semarang. Setelah saya jelaskan  permasalahannya, dia komunkasi dengan radio panggilnya, dan satu jam kemudian, datang bus pengganti.

Tahun Depan

Lebaran berikutnya, saya mudik dari terminal yang sama. Saya lihat para calo mencari penumpang bus AC jurusan Semarang, dengan  promo harga tiket bus ekonomi, dan lagi-lagi, ketemu masalah lagi. Semua penumpang lalu diturunkan di Pemalang.

Saat itu saya pilih tidak ingin ngeyel seperti tahun lalu. Saya punya “jurus ampuh” memotret bus, plat atau nomor polisi bus, sopir dan para calo yang naik dari terminal Cirebon.

Ternyata mereka itu grogi. Bus lalu meneruskan perjalanan sampai terminal Semarang. Padahal, saat itu saya hanya bergaya pura-pura memotret. Kameranya kosong, belum ada filmnya.

Lebaran tahun depan lagi, saya pulang bersama teman satu kampung. Sebelum menuju terminal, saya berdoa semoga perjalanan nanti tidak ada masalah yang membuat hati kurang nyaman seperti tahun-tahun yang lalu.

Begitu masuk terminal dan membeli tiket, saya dan teman ke musala dulu. Lagi-lagi ketemu masalah. Setelah salat, teman saya berbisik, saat  wudhu dia melihat ada bapak sepuh yang wudu di sebelahnya, uangnya dalam plastik jatuh lalu diambil tukang semir di depan musala terminal.

Karena kasihan, saya menggeledah semua kotak semir, dan benar, di dalamnya saya temukan plastik berisi uang. Saya lalu ke ruang informasi 10 meter dari posisi uang itu jatuh.

Setelah diumumkan, menyusul pengumuman agar remaja yang menemukan uang itu diminta ke ruang informasi. Saya dipertemukan dengan bapak sepuh asal Pekalongan yang rambutnya sudah memutih.

Bapak yang semula kehilangan uang Rp.450.000 waktu itu menguluran beberapa lembar uang, namun saya tidak menerima, membayangkan begitu keras perjuangannya bagi keluarganya.

Wasilah Amal Baik

Kisah dramatis itu pernah saya bahas saat saya sowan ke sesepuh. Beliau berkisah tentang ashabul kahfi, tujuh pemuda yang masuk dalam gua dan mohon perlindungan, sehingga Allah menidurkan mereka dalam waktu lama.

Dan saat bangun, tempat dan sekitarnya sudah berubah. Mereka tertidur dengan keimanan mereka, dan Tuhan menjaga jasad mereka utuh, tanpa ada yang rusak, hingga Allah membangunkan, dan mereka bertanya sudah berapa lama tertidur dalam gua itu?

Dalam Surah Al-Kahfi 18 : 25 Allah berfirman: Dan mereka tinggal dalam gua selama 300 tahun, ditambah sembilan tahun lagi. Dan sekecil apa pun amal kita, jika itu diniatkan untuk menolong orang lain, juga bisa mengundang keberkahan, sekaligus dijadikan sarana berdoa kepada Tuhan.

Metode ini, dapat diistilahkan sebagai tabaruk atau perantara dari permohonan kita, dan cara seperti itu dibolehkan, walau sekecil apa pun, yang menilai  adalah Tuhan. Maka, bisa jadi amal yang tampak biasa, karena ketulusan dan manfaatnya bagi yang ditolong, sehingga bisa dijadikan wasilah dalam berdoa.

Semua amal kebajikan bisa dijadikan wasilah yang menyebabkan doa bisa terkabul. Misalnya, ada santri yang tidak cerdas, namun dia punya tekad agar hidupnya lebih bermanfaat. Dia berkhidmad kepada guru.

Dia selalu membuatkan kopi, cuci pakaian, menyapu, merawat ternak, dsb. Karena ketulusannya itu Allah memberi anugerah. Walau dengan ilmu yang  pas-pasan, setelah dia kembali ke desanya, banyak warga yang berdatangan ke kediamannya.

Dia yang semula dikenal “tulalit” kemudian memiliki kecerdasan yang luar biasa. Bahkan ada yayasan pendidikan besar menawari menjadi kepala sekolah. Secara tradisi,  kecerdasan, keberkahan, itu sumbernya tidak harus melalui pendidikan tinggi.

Dan saya percaya, termasuk budi baik orangtua itu bisa berimbas ke anak-anaknya. Saya kenal kakak-adik (anak kembar). Kakaknya dulu sering mencarikan pekerjaan saudara dan tetangganya.

Adiknya senangnya jadi calo. Janji mendapatkan pekerjaan, sudah minta uang sogok, uangnya raib, pekerjaan pun tidak didapatkan. Ketika anak-anaknya sudah selesai pendidikannya, mencari lowongan bertahun-tahun tidak ada yang nyenggol.

(Tamat)