Kepala babi yang dikirim ke kantor redaksi majalen Tempo. Tangkapan layar video tempo.co.

Oleh Jhosef Nanda Putra

 PADA 19 Maret 2025, kantor redaksi Tempo menerima paket berisi kepala babi yang ditujukan kepada seorang jurnalis perempuan yang juga host program “Bocor Alus”. Insiden ini segera dilaporkan oleh Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) ke Bareskrim Polri, dengan harapan aparat penegak hukum dapat mengusut tuntas kasus teror tersebut.

Saya sendiri bertanya-tanya, kira-kira apa tujuan seseorang melakukan teror itu kepada kantor redaksi Tempo dengan sasaran seorang jurnalis nya?

Motiif dibalik teror ini, dapat diraba menggunakan kerangka Theory of Reasoned Action. Teori ini dikembangkan oleh Martin Fishbein dan Icek Ajzen. Model ini menjelaskan bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh niat (intention) yang dipengaruhi oleh dua komponen utama.

Pertama adalah komponen sikap terhadap perilaku, yaitu keyakinan individu tentang konsekuensi dari perilaku tersebut dan evaluasi mereka terhadap konsekuensi itu. Komponen kedua disebut sebagai norma subjektif, yakni persepsi individu tentang tekanan sosial untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku tersebut.

Kira-kira pelaku mungkin saja memiliki keyakinan bahwa mengirimkan kepala babi akan menimbulkan ketakutan dan tekanan psikologis kepada target, dalam hal ini adalah seorang jurnalis Tempo.

Pelaku ini bisa jadi menganggap tindakannya sebagai bentuk intimidasi yang efektif untuk mengurangi keberanian atau membatasi ruang gerak media dalam mengungkap suatu isu. Apalagi target merupakan host dalam acara Bocor Alus, kanal yang kerap vulgar mengupas isu berat dan kontroversial seputar politik.

Dalam perspektif pelaku, aksi teror semacam ini mungkin dianggap sebagai peringatan keras agar media lebih berhati-hati dalam memberitakan sesuatu yang mungkin merugikan kepentingan tertentu.

Evaluasi mereka terhadap konsekuensi tindakan ini mungkin bersifat positif jika mereka percaya bahwa strategi intimidasi ini akan membungkam kritik atau menghentikan publikasi yang menggugat kenyamanan suatu pihak. Lebih jauh, pelaku bisa saja berharap bahwa dengan menciptakan nuansa ketakutan, jurnalis dan media lain urung mengulas isu-isu sensitif.

Namun ada juga kemungkinan bahwa pelaku bukan merupakan bagian primer dari pihak yang merasa dirugikan oleh ulah Tempo, melainkan individu maupun pihak yang tidak bertanggungjawab yang dengan ‘iseng’ berniat memperkeruh kondisi sosial politik bangsa.

Barangkali pelaku bermaksud untuk memanaskan suasana, menumbuhkan rasa saling curiga, menciptakan polarisasi hingga menimbulkan rasa tidak percaya pada institusi tertentu. Dengan memanfaatkan ketegangan antara pers, masyarakat dan pemerintah, pelaku sedang mencermati celah mana yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu, baik politik, ekonomi maupun sosial.

Norma Subjektif

Tinjauan berikutnya adalah terkait norma subjektif. Mungkin saja pelaku menangkap sinyal dukungan atau tekanan dari kelompok tertentu yang mendorong tindakan teror tersebut.

Pers sebagai Ancaman?

Dalam banyak kasus, tindakan kriminal atau teror bukan hanya dipengaruhi oleh keyakinan individu, tetapi juga oleh norma dan dinamika kelompok yang membentuk lingkungan sosial pelaku.

Jika pelaku berada dalam lingkaran sosial yang secara eksplisit atau implisit mendukung tindakan intimidasi terhadap pers, maka mereka akan merasa lebih berani untuk bertindak. Dukungan ini bisa datang dalam berbagai bentuk, mulai dari pembenaran moral, dorongan ideologis, hingga tekanan langsung untuk menunjukkan loyalitas terhadap kelompok itu.

Dalam konteks politik dan sosial yang memanas, kelompok-kelompok tertentu mungkin menganggap pers sebagai ancaman terhadap kepentingan mereka. Media yang independen dan kritis sering kali diposisikan sebagai musuh oleh pihak yang ingin mempertahankan kekuasaan atau menyembunyikan informasi tertentu.

Jika lingkungan sosial atau kelompok afiliasi pelaku memandang tindakan intimidasi terhadap pers sebagai sesuatu yang dapat diterima, atau bahkan sebagai tindakan heroik yang membela kepentingan mereka, maka norma subjektif ini akan memperkuat niat pelaku untuk melakukan teror.

Selain itu, ada kemungkinan bahwa pelaku tidak bertindak sendiri, melainkan sebagai bagian dari jaringan atau organisasi yang lebih besar. Dalam skenario seperti ini, tekanan untuk melakukan aksi teror bisa datang dari atasan atau rekan-rekan dalam kelompok tersebut.

Pelaku mungkin merasa bahwa mereka akan mendapatkan penghargaan, status, atau perlindungan jika menjalankan tindakan yang sesuai dengan kepentingan kelompok. Sebaliknya, mereka mungkin juga merasa terancam atau mendapat sanksi sosial jika menolak untuk melakukan tindakan yang telah disepakati oleh komunitas mereka.

Fenomena ini juga berkaitan dengan efek penguatan kelompok (group polarization), di mana individu dalam lingkungan yang homogen secara ideologis cenderung mengambil tindakan yang lebih ekstrem daripada yang mungkin mereka lakukan secara individu. Jika suatu kelompok secara konsisten mendiskreditkan pers dan menanamkan narasi bahwa media adalah musuh yang harus dilawan, maka anggotanya lebih mungkin melakukan tindakan agresif, termasuk ancaman fisik dan teror.

Oleh karena itu, dalam menangani kasus ini, penting bagi pihak berwajib untuk tidak hanya mencari individu pelaku, tetapi juga memahami dan mengatasi faktor-faktor yang mempengaruhi sikap dan norma subjektif yang mendukung tindakan intimidasi terhadap jurnalis. Hal ini esensial untuk memastikan kebebasan pers tetap terjaga dan mencegah terulangnya insiden serupa di masa mendatang.***

Jhosef Nanda Putra Direktur Group of Leader on Research and Society tahun 2023 Universitas Katolik Soegijapranata