Ilustrasi. Reka: SB.ID

JC Tukiman Tarunasayoga

SELAMA satu bulan terakhir ini, tidak ada sebuah kata uyang menjadi sangat terkenal kecuali kata amicus yang dijodohkan dengan kata curiae; lalu menjadi amicus curiae: sahabat pengadilan.

Zaman kekaisaran Romawi masih berkuasa dulu, seseorang yang sangat dihormati, atau pun mendapatkan gelar kehormatan, orang itu disebutnya amicus populi Romani: (engkau, Tuan) sahabat bangsa Rumawi,

Amicus, kata Latin, memiliki lima arti, yakni (a) bersahabat, (b) bersikap ramah tamah, baik hati, saying; (c) terkasih, disambut baik, menyenangkan, (d) teman, dan (e) orang-orang istana.

Arti terakhir inilah sangat terkait dengan gelar kehormatan amicus populi Romani, diberi kehormatan menjadi (anggota) keluarga kekaisaran. Kalau konteksnya dibawa ke keraton di  Surakarta atau Ngayogyakarta, misalnya, orang yang diberi kehormatan itu lalu menerima gelar, semisal KRMT, KRT, atau Raden Mas, dan apalagi lainnya.

Amica

Hendaklah sedikit hati-hati ketika membicarakan amica-ae  ini. Mengapa? Ini menyangkut kaum perempuan yang dikaruniai Tuhan rasa peka dan sensitif dalam banyak hal.

Amica-ae  maknanya ialah sahabat perempuan, kekasih, dan/atau pacar. Nah…………benar harus hati-hati kan berhadapan dengan sahabat perempuan itu?

Pada saat amicus harus dijejerkan dengan amica ini layaknya laki-laki yang dijejerkan (baca bersahabat)  dengan perempuan haruslah kedua belah pihak hati-hati sebab ada godaan menjadi TTM: teman tapi mesra.

Generasi Z mungkin tidak akrab dengan singkatan TTM ini, padahal kalau ditanyakan kepada mereka yang usianya kini di atas 50 tahunan, pasti dia mung mesam-mesem karena mengalami secara langsung betapa sering boncengke wae , lama-lama  menjadi TTM.

Sekarang sih lihat orang berbocengan sepeda motor seliweran ke kampung-kampung tidak akan (automatis) orang menduduh TTM berhubung banyaknya ojek dan gojek sekarang ini.

Amicus Curiae

Apakah proses peradilan sengketa Pilpres 2024  di Mahkamah Konsitusi (MK) kemarin itu menyisakan amicus curiae menjadi TTM untuk pihak-pihak tertentu? Atas nama profesionalitas masing-masing pihak, terutama pihak MK, indikasi TTM pastilah sangat-sangat dijauhkan.

Untuk mengukur derajat profesionalitas ini, justru dalam hari-hari dalam pekan  ini masyarakat dapat mendeteksinya. Adakah komentar, analisis, teriakan, atau bahkan nyinyir-nyinyiran terkait putusan MK ataukah pada akhirnya semua pihak “Kembali normal” sesuai dengan amanat keputusan MK.

Saat inilah MK dapat memilih tokoh-tokoh paling professional untuk menjadi sahabat MK: amicus populi MK, sebagaimana zaman dulu ada sahabat penduduk Rumawi.

MK berada di atas angin saat ini, dan ke depan tetap harus benar-benar menjadi penjaga gawang konstitusi, terjauhkan dari kesan TTM dengan pihak mana pun dan siapa pun.

Pernah ditulis oleh Dorothy Thompson dan diceriterakan Kembali dalam buku : “1500 Cerita Bermakna”  (Frank Mihalic SVD. 2000) sub-judul Hormat terhadap hukum, sebagai berikut: Seorang psikiater terkenal berkata: di rumah sakitku ada beraneka macam orang sakit gangguan kejiwaan. Kebanyakan dari mereka kehilangan kendali.

Banyak orang bertanya: “Bagaimana psikiater dapat menyembuhkan mereka?” Jawabnya: “Kami mengendalikan mereka seperti anak Taman-Kanak-kanak. Setiap jam, waktu mereka kita atur sangat ketat. Awalnya pasti banyak yang memberontak, tetapi lama-kelamaan mereka akan belajar betapa kata-kata guru (baca dokter) adalah hukum yang harus ditaati, harus diterapkan. Tolok ukur keberhasilannya ialah, bila mereka sudah semakin pandai mendisiplinkan dirinya sendiri, mentehaui dan mampu mengendalikan angan=angan mereka, itu berarti mereka sudah sembuh.”

Hiruk-pikuk akan berangssur tenang manakala  orang-orang kembali taat hukum, sebagaimana telah diputuskan oleh MK.

JC Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Soegijapranata Catholic University