JC Tukiman Tarunasayoga
HANYA karena huruf T diganti dengan R, semula kata angket lalu berubah menjadi angker; nuansanya sudah berubah seratus delapan puluh derajat, lalu orang bertanya-tanya: “Bener nih angket itu angker?”
Pikiran spekulatif menggelinjang, bikin penasaran saja seraya komat-kamit berharap: “Mbok ora usah angket-angketan barang.”, gak perlu ada hak angket segala. Di pihak lain komat-kamitnya berbeda: “Hohohohoho……. kapan lagi DPR unjuk kebolehannya sebagai penjaga konstitusi kalau bukan saat ini berjuang keras agar terjadi hak angket?”
Telaah kali ini sebenarnya bukan soal (hak) angket-nya DPR, tetapi terdorong oleh banyaknya orang takut terhadap hak angket, ………”Hi….hi…..hi….. jebul banyak juga anggota DPR itu penakutg ya? –mendorong saya untuk menelaah angker berhubung orang takut itu biasanya terjadi karena katanya (ada yang) angker.
Angker
Bacalah angker seperti Anda mengucapkan satker (satuan kerja), serta, atau kunker (kunjungan kerja). Boleh juga sebagaimana Anda mengucapkan kanker; sementara kalau angket, pengucapannya seperti Anda mengatakan: mau beli tiket di loket sebaiknya pakailah jaket dan topi baret.
Ada dua makna angker yang rasa-rasanya bertentangan subyeknya. Begitukah? Makna angker pertama ialah, ora kena diambah utawa digepok senggol dening sapa wae amarga ana lelembute. Penjelasan ini mau menegaskan bahwa ada barang atau benda yang tidak seorang pun boleh (berani??) mendekatinya, menyentuhnya, atau pun bahkan memandangnya berhubung ada roh halus penunggunya.
Hi….hi……hi……… takut kan? Selanjutnya, orang atau khalayak menyebut benda, tempat, atau barang itu angker dalam arti menakutkan, maka sebaiknya disingkiri saja.
Ada di mana barang atau benda semacam itu berada? Di mana-mana, karena pohon dapat juga disebut angker, kamar mandi dapat juga disebut angker. Jangan-jangan di kompleks Gedung DPR di Senayan sana banyak juga tempat-tempat disebut angker, sampai-sampai kursi pun sangat mungkin dianggap angker, kamar atau ruangan kerja juga ada yang dsebut angker.
Baca juga Salah Seleh, Bohong Bodong
Makna angker yang kedua berkaitan dengan orang/sosok/pribadi, -bukan lelembut nih- , yang “langganan” disebut angker oleh banyak orang, karena ia gampang nepsune, gampang marah, gampang tersinggung.
Sithik-sithik nesu, nesu kok sithik-sithik. Sapa hayo, kuwiiiiii???? Mengapa orang atau sosok seperti itu disebut angker? Ya karena tidak semua orang berani mendekatinya, banyak orang takut, sejumlah orang memilih “menyingkir” bila harus bertemu atau bahkan berpapasan sekali pun.
“Ihhhhh angker kok, dia,” dan lalu orang yang takut itu dapat cerita seribu satu malam tentang ke-angker-an si Jogoboyo itu.
Angket itu angker?
Jika betul hak angket itu angker, maka pertanyaannya: Siapa takut siapa, siapa menakutkan siapa dan apa, dan mengapa hak konstitusional Lembaga legislatif itu dimaknai sebagai hal yang angker justru oleh sejumlah anggota legislatif sendiri?
Takut bayangannya sendirikah? Jika betul ada anggota DPR takut bayangannya sendiri, waduhhhhhhh……………gawat nih. Gusti, nyuwun pangapura!!!
Ajakan dan ajaran moral tentang angker ini antara lain: Yen mula bener, aja wedi barang utawa wong angker; jika Anda itu pihak yang benar, mengapa takut barang atau orang angker?
Namun, lamun wedi, aja rumangsa kendel; dene yen pancen kendel aja wedi-wedi. Apabila Anda memang takut, ya sudah janganlah sok jagoan seolah-olah pemberani; sementara itu jika memang berani (karena benar), mengapa harus takut-takut?
Titik simpul semuanya adalah kata bener, maksudnya benar dan kebenaran; dan kata inilah saat ini sedang diuji oleh para anggota DPR lewat bergulirnya hak angket seraya menghitung tokek berbunyi: Stop…….lanjut………stop……..lanjut……stop……lanjut…….dst
JC Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Soegijapranata Catholic University