Ilustrasi. Reka: SB.ID

Oleh Jhosef Nanda Putra

SETELAH teror kepala babi tanpa telinga, kantor redaksi Tempo kembali diteror, menyusul paket yang dikirim orang tak dikenal berisi bangkai tikus dengan kepala terpenggal. Teror kedua ini terjadi pada Sabtu (22/03/2025) dinihari pukul 02.11 WIB.

Di tengah teror bertubi pada jurnalisme, respon istana melalui Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi menimbulkan kontroversi. Pasalnya, Hasan bilang agar kepala babi tersebut “dimasak saja”, sebuah komentar yang dianggap meremehkan seriusnya teror yang tertuju pada Tempo.

Pernyataan Hasan Nasbi yang menganggap enteng teror kepala babi dengan menyarankan untuk “dimasak saja” bukan sekadar komentar yang tidak pantas, tetapi cerminan dari sikap pemerintah yang abai terhadap ancaman serius terhadap kebebasan pers.

Pernyataan ini bukan hanya gagal memberikan dukungan kepada jurnalis yang terancam, tetapi juga mencerminkan sikap meremehkan tindakan intimidasi yang jelas-jelas bertujuan untuk membungkam kritik dan menyebarkan ketakutan.

Dalam sistem demokrasi yang sehat, pemerintah seharusnya menjadi garda terdepan dalam melindungi kebebasan pers dan pelopor untuk terjaminnya kelangsungan berdemokrasi, bukan justru melontarkan komentar yang melemahkan solidaritas terhadap media.

Candaan yang keluar dari mulut pejabat negara dalam konteks ancaman nyata terhadap wartawan bukan sekadar ketidakpekaan, melainkan bentuk pengabaian yang berbahaya.

Jika pejabat negara tidak bisa menunjukkan empati terhadap kebebasan berekspresi dan keamanan jurnalis, bagaimana masyarakat bisa berharap bahwa negara akan serius menangani ancaman terhadap demokrasi?

Komentar Hasan bukan hanya memperlihatkan sikap permisif terhadap ancaman terhadap pers, tetapi juga bisa diartikan sebagai sinyal tidak langsung kepada para pelaku teror bahwa tindakan mereka tidak akan dianggap serius.

Ini adalah preseden berbahaya. Ketika teror terhadap jurnalis dianggap sebagai sesuatu yang remeh, maka pelaku akan semakin berani, sementara media dan masyarakat sipil semakin merasa tidak terlindungi.

Dari sudut pandang psikologi, pernyataan Hasan dapat dilihat sebagai bentuk normalisasi kekerasan simbolik, yang berpotensi memperlemah kebebasan pers dan menciptakan efek psikologis yang serius bagi jurnalis serta masyarakat secara luas.

Gaslighting

Normalisasi teror pada Tempo ini bisa dianggap sebagai gaslighting. Dalam psikologi, gaslighting adalah strategi manipulatif yang membuat korban meragukan persepsi dan realitasnya sendiri.