JC Tukiman Tarunasayoga
Kemarung itu duri pada akar tumbuhan gembili, bisa juga tumbuhan gadung. Hati-hati jika memanen gembili, sebab akar yang mengeras berubah menjadi duri itu bisa menjalar agak sedikit jauh dari batangnya.
Ngregem, -di beberapa tempat diucapkan menjadi nggegem-, artinya memegang(i) sesuatu di dalam telapak tangan secara ketat agar tidak mudah lepas atau terjatuh.
Nahhhhh…….. bayangkanlah tangan Anda menggenggam ri kemarung itu. Beranikah menggenggam kuat-kuat? Tahan sakitkah telapak Anda tertusuk duri? Pasti tidak berani, sakitlah.
Ngregem kemarung arti lurusnya menggenggam kemarung; tetapi itu sebuah paribasan, peribahasa yang melukiskan seseorang sedang menggenggam duri kemarung itu sedemikian rupa karena tugas. Bukankah tugas (apalagi kewajiban) harus dijalankan sebaik mungkin meskipun sulit dan berat?
Sebagai paribasan, ngregem kemarung memiliki makna ngemong wong kang angel wewatekane, harus pandai-pandai meladeni orang yang memiliki watak atau bahkan kepribadian yang sulit.
Baca juga Awas Lho Pak: Kemaruk dadi Kemarung
Siapa orang yang memiliki watak atau kepribadian yang sulit itu? Ya siapa saja; bisa suami, bisa istri, bisa teman sejawat, bisa juga pimpinan, bos sebutlah begitu, bahkan mungkin bisa juga anak, mungkin pula orang tua. Sapa wae-lah.
Siapa harus ngemong?
Pertanyaan ini sulit menjawabnya. Mengapa? Dalam hal ngemong ini, ternyata kita tidak bisa bicara seharusnya karena kita berhadapan dengan fakta konkrit. Seharusnya sih semua orangtua bisa ngemong anaknya, sama halnya semua pimpinan harusnya pinter ngemong anak buahnya.
Faktanya begitu “muluskah”? Tidak. Amat banyak pimpinan yang tidak pinter ngemong anak buah, malahan justru sebaliknya yang banyak terjadi di mana-mana ialah: Anak buahlah yang harus pinter-pinter ngemong pimpinan.
Mengapa? Ya karena pimpinan itu wewatekane angel, misalnya: Mana pimpinan yang tahunya beres dan cepat, pimpinan yang mudah tersinggung atau marah (marah), pimpinan yang sebenarnya tidak tahu substansinya tetapi sok atos atau ngeyel, atau sebaliknya pimpinan yang amat menguasai masalah dan meminta anak buahnya pinter kaya dheweke.
Intinya, siapa harus pinter ngemong faktanya ialah anak buah, wong cilik, wong tidak punya kuasa apa pun dan tahunya hanya harus inggih. Cilakane dadi wong cilik, harus pinter-pinter menjadi panakawan (Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong) seperti dalam pewayangan itu.
Ke depan
Kapan wong cilik ini bisa menikmati kebahagiaan kalau ternyata hidupnya harus diabdikan untuk ngemong wong pangkat? Masakan harus begitu terus?
Sebaiknya jangan terlalu melankolis, sebab saat ini perbaikan pelayanan birokrasi selalu diupayakan baik dan membaik. Kalau pun ada pimpinan atau pejabat yang angel wewatekane, semoga dia atau mereka belajar terus untuk tidak lagi menjadi pribadi yang menyulitkan.
Satu pegangan yang kiranya perlu digenggam terus oleh pejabat adalah kata-kata mujarab ini: Aku menjabat untuk melayani, bukan untuk dilayani. Jika beliau itu presiden, yahh kata-katanya: Aku menjadi presiden untuk melayani, bukan untuk dilayani. Jika beliau menteri, yahhh katakanlah: Aku menjadi menteri untuk melayani, bukan untuk dilayani.
Begitu seterusnya, dan ke depan ini, kita berharap semakin sedikit anak buah atau masyarakat yang ngregem kemarung. Janji lo ya, Brooooo!!!
JC Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Soegijapranata Catholic University