Oleh: Rujono
Desa Tempur yang terletak di Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara, merupakan wilayah penghasil kopi terbesar. Dengan keindahan alamnya yang luar biasa, potensi Desa Tempur tidak hanya di sektor pertanian, tetapi juga membuka peluang besar bagi pengembangan wisata berbasis ekologi.

Namun, di balik keindahan alamnya, desa yang berada di cekungan vulkanik kuno Gunung Muria ini menghadapi tantangan besar dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Perubahan ekologis yang terjadi selama beberapa dekade terakhir, terutama pasca-banjir bandang tahun 2006 dan kebakaran hutan tahun 2008, memaksa masyarakat untuk beradaptasi dengan cara yang lebih berkelanjutan.
Sebelum era reformasi, wilayah di Desa Tempur terkenal dengan keasriannya. Hutan yang lebat dengan pohon-pohon besar endemik Muria masih utuh, memberikan perlindungan alami bagi tanah dan ekosistem sekitarnya. Namun, perubahan tata kelola lahan serta meningkatnya aktivitas pertanian telah mengubah lanskap desa ini secara signifikan.
BACA JUGA: Kopi Tempur, Bermula dari Serdadu Balanda yang Memburu Para Pejuang di Lereng Muria
Desa Tempur terus berupaya menjaga kelestarian alamnya sambil tetap mengembangkan sektor kopi dan wisata yang berkelanjutan sebagai upaya untuk memahami lebih dalam bagaimana desa ini berjuang menghadapi tantangan ekologisnya.
Perubahan Ekologi Pasca Banjir Bandang 2006
Pada tahun 2006 Desa Tempur diterjang banjir bandang, dari pengalaman inilah warga sepakat untuk menanam kopi di lahan Perhutani sebagai upaya mencegah longsor. Hasilnya, pada tahun 2025 hampir semua lahan telah ditanami kopi dan bencana longsor relatif lebih aman.
Namun, dampak terbesar terhadap ekosistem desa bukan hanya dari banjir bandang, tetapi juga dari kebakaran hutan tahun 2008. Kebakaran tersebut menyebabkan banyak lahan menjadi gundul dan tanahnya tidak lagi subur. Banjir bandang adalah salah satu akibat dari kondisi tanah yang kritis setelah kebakaran. Dari situ, masyarakat mulai lebih sadar akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan.
BACA JUGA: Kopi Tempur Jepara, si Hitam Pekat yang Nikmat
Perubahan pola aliran sungai juga menjadi perhatian utama. Selain ada penurunan jumlah mata air di beberapa titik desa, setiap musim kemarau juga terjadi penyusutan air yang cukup drastis.
Upaya Konservasi dan Tantangan yang Dihadapi
Salah satu tantangan terbesar dalam konservasi adalah kondisi lahan bekas kebakaran yang masih belum subur. Tanah yang terbakar sulit untuk ditanami kembali, dan medan yang ekstrem menyulitkan tim dalam melakukan rehabilitasi.
Saat ini masyarakat dan pemerintah desa terus menganggarkan program reboisasi setiap tahun. Bekerja sama dengan perusahaan swasta dan BUMN untuk mendukung kelestarian alam. Selain itu, ada program penghijauan atau rehabilitasi hutan yang dilakukan secara rutin.
Dengan adanya perubahan lingkungan yang sangat signifikan tersebut juga berdampak terhadap mata pencaharian masyarakat yang mayoritas berprofesi sebagai petani kopi dan petani sawah.
Kesulitan pengairan di musim kemarau menjadi kendala terbesar bagi petani dalam menjaga kesuburan lahan. Beberapa lahan yang dulunya sawah kini telah dialihfungsikan menjadi kebun kopi.
Meskipun alih fungsi lahan ini berdampak besar terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat Desa Tempur, ada kekhawatiran terkait ketahanan pangan desa. Banyak lahan jagung yang kini berubah menjadi kebun kopi.
Secara ekonomi memang menguntungkan, tapi ini juga berarti produksi pangan lokal berkurang. Namun, dalam hal ketersediaan air bersih, Desa Tempur masih cukup beruntung. Saat ini air bersih masih cukup melimpah, meskipun beberapa mata air mulai berkurang debitnya.
(Penulis adalah Anggota GAPOKTAN Desa Tempur, dan Petani Kopi Tempur)