blank
Ilustrasi. Reka: SB.ID

blankPADA masa peralihan, orang-orang yang menyebut diri modern mulai menyisihkan diri dari keramaian. Menyingkir dari kebiasaan budaya yang akrab dengan interaksi nyata.

Apalagi ombak kemajuan teknologi yang tak terbendung, memaksa manusia untuk menelan perubahan yang sangat cepat ini, dengan pongah dan gagap.

Anak muda seolah mengerti algoritma media baru dan berselancar di dalamnya dengan perangai yang sebetulnya, gamang dan ragu-ragu.

Kenyataan konkret yang sejak kanak-kanak benar kita sentuh dan dengar, kita rasakan sakit dan bahagianya kian beralih pada perasaan maya yang ganjil. Sakit dan bahagia seperti algoritma reels Instagram atau Youtube yang terkendali dalam adiksi. Tenggelam di samudera ketidakpastian itu adalah kesenangan yang membius. Atau narkoba dengan gaya baru yang barang tentu dinormalisasi.

Manusia dalam lingkar teknologi informasi, rupa-rupanya menciptakan ruang baru dalam dimensi sosial, bernuansa dilematis yang pelik dan menjerat. Yang saya boleh sebut, ruang yang dicipta oleh bahasa keheningan.

Manusia tak punya pilihan lain atas hidupnya, kecuali menjadi keluarga digital yang sehari-harinya dituntut “ada” dalam maya dan hening dalam kenyataan sesungguhya.

Lantas ketika lenyap dari keterhubungan media sosial, hidup mendadak putus dan memandang kenyataan sesungguhnya dengan bingung dan tak berdaya. Menghadirkan kesan hampa yang janggal.

Lucunya, generasi hari ini merupakan satu-satunya kelompok manusia yang tak akrab dengan kenyataan sosialnya sendiri. Generasi yang lepas pertautanya dengan generasi sebelumnya, seperti dahan-dahan yang patah oleh angin penjuru.

Alienasi dampak neurosis

Bahasa keheningan yang saya sebut di atas, adalah keretakan tradisi lama yang disebabkan ekspansi industri media baru, dimana keretakan yang paling ketara ialah tradisi tutur yang tidak lagi menjadi lorong utama seperangkat nilai dan moral diwariskan ke generasi, melainkan tradisi scroll dan media sosial.