Ilustrasi. Foto: Ist
Ilustrasi. Foto; Ist

blank

DALAM perjalanan ke luar kota, saat di rumah makan mendengar tiga orang asyik membahas kesaktian ustad muda di desanya. Sekilas isi  perbincangan itu tentang ustad yang dapat berjalan di atas air.

Karena ceritanya menarik, saya izin gabung.  Setelah menyimak  apa yang mereka bicarakan, saya lalu minta alamat ustad itu. Berbekal alamat yang diberikan, saya melacaknya dengan bantuan ojek.

Akhirnya saya bertemu sosok ustad muda itu. Setelah memperkenalkan diri, saya bertanya info dari warga tentang berjalan di atas air. Tuan rumah tersenyum dan  mengatakan yang dibicarakan warga itu benar, namun sudah dibumbui hingga beritanya lebih besar dari yang dialaminya.

Perbincangan kami lebih cair ketika tuan rumah itu saya beri tahu salah satu narasumber di buku saya adalah seniornya waktu di pesantren, hingga dia yang semula hemat komentar, setelah itu lebih terbuka soal banyak hal, termasuk berlari di atas air yang dialaminya.

Dia membenarkan hal itu terjadi, namun itu bukan faktor ilmu kesaktian, melainkan maunah atau pertolongan langsung dari Allah. Saat saya tanya apakah ada amalan tertentu? Dijawab, “Sejak nyantri usia 17 tahun, amalan yang istikamah itu salawat dan istighfar.”

Dia mengisahkan, kejadian yang menjadi buah bibir warga itu berawal saat dia ceramah. Karena isinya dianggap menyinggung profesi tertentu, selesai ceramah dia dilempari batu oleh sekumpulan para blandong (penjarah hutan jati).

Pada kegelapan malam dia berlari untuk menyelamatkan diri.  Saat posisi  terdesak,  samar-samat dia melihat ada jalan mulus warna putih. Dia lalu berlari dan berhasil menyeberang menjauh dari masa yang mengejarnya.

Sampai ujung “jalan putih”, dia menolah ke belakang. Ternyata yang semula dianggap  jalan itu tidak ada. Dia baru sadar  yang dia pijak tadi itu sungai. Yang dia tidak habis pikir, dalam waktu singkat dia sudah berada di seberang sungai.

Ketika saya tanya apakah dia memiliki amalan khusus selain salawat? Dia menjawab, “Istighfar!”  Amalan lain yang berkaitan dengan tarekatnya, semata-mata untuk ibadah, sedangkan amalan yang diprogram untuk kesaktian atau kekeramatan, apalagi  ilmu ringan tubuh hingga mampu berjalan diatas air, tak pernah dipelajarinya.

blank
Ilustrasi. Foto: Ist

Hikmah Salawat

Menurut para ahli hikmah, selain nilai ibadahnya, Salawat termasuk  efektif diamalkan oleh orang yang hidup pada zaman serba sibuk ini.  Bahkan oleh sesepuh, saya pernah dimotivasi dengan bahasa khasnya yang nyentrik.

Yaitu, “Jika setiap saat bibir dan hatimu selalu berzikir shallallah ‘alaa Muhammad (saja), sedikitnya selama satu tahun, jika hidupmu tidak sukses dan bahagia, ludahi mukaku, dan caci-maki aku!”

Yang berkaitan dengan istighfar, Nabi SAW bersabda :“Barangsiapa senantiasa beristighfar, maka Allah akan memberikan kegembiraan dari setiap kesedihannya, dan kelapangan bagi kesempitannya dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangka.”(HR. Abu­ Daud & Ibnu Majah).

Berapa banyak istighfar diamalkan dalam satu hari? Kata para Guru, lazimnya 100 kali, jika sedang ada masalah yang harus diselesaikan yang berkaitan dengan rezeki atau masalah rumit, tirulah Ibnu Taimiyah yang beristighfar 1.000 kali.

Pada zaman manusia serba sibuk, konsep olah batin versi “singkat, padat, berisi” itu layak dijadikan pilihan. Sedangkan konsep yang berat dan panjang, seperti hizib, biarlah itu bagian orang-orang khusus yang memang disitu dunianya.

Warga Gunung

Konsep “mengundang” atau menghimpun energi supranatural itu bukan hanya milik kelompok tertentu. Manusia dari berbagai tingkat spiritualnya punya hak yang sama bermohon kepada-Nya.

Tahun 70-an ada kejadian yang saya lihat langsung. Saat itu awal  masa “alih teknologi” transportasi desa dari andong ke mobil. Sebagian warga dari wilayah pegunungan yang biasa melintas desa saya itu belum  paham prosedur turun dari mobil umum.

Mereka main loncat tanpa memberitahu kernet saat mobil masih melaju kencang. Akibatnya, diantara mereka banyak yang cidera. Namun, dari sekian yang asal loncat itu ada seorang yang membuat orang kagum.

Dia bukan hanya “terjun bebas” namun sarungnya nyantol pada engsel pintu mobil hingga dia terseret lebih sekitar 200 meter. Ketika warga di pasar dan di pinggiran jalan berteriak-teriak, mobil baru berhenti.

Saat itu kondisi jalan raya belum beraspal dan hanya tanah diuruk pecahan batu kali. Penumpang itu lalu diajak  ke Puskesmas desa. Anehnya, walau diseret mobil dia tidak mengalami luka, padahal baju dan sarungnya rusak dan itu membuat  Pak Mantri Sarijan menggeleng-gelengkan kepala.

Konsep Cekak Aos

Sepuluh tahun kemudian, saya melacak kediaman bapak itu. Saat saya tanya punya ilmu kebal? dia menjawab, tidak. Satu-satunya amalan yang dijadikan pegangan itu  ilmu warisan leluhurnya. Konsepnya sederhana. Setiap akan bepergian, dia kontrol nafas. Yaitu, dari dua lobang hidung itu bagian mana yang lebih longgar.

Jika lobang hidung kiri yang lebih longgar, saat keluar rumah,  dia mendahulukan kaki kiri. Dan pada langkah yang ketuju, berhenti sesaat dan berdoa mohon selamat dan dimudahkan semua urusan.

Kesimpulannya, “keampuhan” dan keberkahan suatu ilmu itu, bukan  dari beratnya tirakat,  panjangnya mantra atau amalan, dan bukan pula  besarnya mahar, melainkan sejauh mana sikapnya menjaga familiar dengan ilmunya.

Karena itu, suatu kalimat yang cekak aos (padat – berisi) pun bisa mengundang keajaiban dibanding amalan yang panjang bacaannya, berat syarat dan maharnya, kalau diamalkan sambil lalu, tetap saja menang yang diasah rutin.

Al Istaqamah khairun min alfi karamah (Istiamakah itu lebih baik dari seribu karamah).

Masruri, praktisi dan konsultan metafisika tinggal di Sirahan, Cluwak, Pati