PUASA, selain nilai ibadahnya, juga untuk menerangi hati, agar nafsu lebih terkendali. Bahkan, orang yang mengikuti konsep tradisional pun meyakini, dengan puasa dan mengurangi kenikmatan dunia itu lebih mendekat dengan Pencipta-Nya.
Karena mereka meyakini, setiap makanan dan minuman yang masuk dalam perut itu memiliki karakteristik tersendiri. Misalnya, makanan yang mengandung nyawa menguatkan nafsu amarah, sayur hijau menumbuhkan semuci-suci (sok suci), garam mengeruhkan hati dan pikiran, tumbuhan yang keluar dari bumi menguatkan nafsu serakah.
Karenanya, dengan mengurangi kadar makanan yang masuk dalam perut, menyebabkan seseorang mendapatkan kekayaan yang bersifat batin, dan mereka yakin, dalam kondisi demikian itu, hijab atau jarak antara makhluk dengan Al-Khaliq lebih dekat.
Dan nafsulah yang menyebabkan manusia terdindingi dengan Allah. Artinya, jika nafsu itu dapat ditekan dengan melaparkan diri, maka dinding atau hijab antara manusia dengan Allah semakin menipis.
Dan menipisnya dinding itu, menyebabkan kita lebih dekat dengan Sang Pencipta dan cahaya-cahaya Allah (nurullah) lebih mudah masuk dalam hati, yaitu gudang penyimpan ilmu dan hikmah.
Salat Malam
Cara paling praktis mendekatkan diri kepada Allah, menurut para alim dengan salat malam, terutama yang dilakukan pada sepertiga malam yang akhir. Menjalankan salat malam (tahajjud) dijanjikan akan dimasukkan pada tempat yang terpuji.
Menurut para ahli hikmah, salat malam itu terapi untuk melembutkan qalbu yang menjadi sumber utama didapatkannya ketenangan hati pada siang hari. Apalagi ketika salat malam yang disertai hati khusyuk karena mengharap ridha-Nya.
Dalam sebuah penelitian, membuktikan, seseorang yang menjalankan
salat malam, dilanjutkan dengan zikir khusyuk, pada siang hari gelombang otak lebih teratur sehingga dia mendapat ketenangan batin. Sebaliknya, jika salat dan zikir dengan terpaksa, buru-buru, gelombang pikirannya kacau dan siangnya cenderung gelisah.
Zikir Malam
Pada umumnya, ritual ini berkaitan dengan salat malam (qiyamullail). Zikir, dapat diartikan “ingat”. Berzikir berarti mengingat Allah, bukan sekedar dengan lisan, melainkan dengan hati. Dan zikir yang hakiki itu ingat Allah, yaitu ingatnya seluruh anggota badan dengan hukum-hukum-Nya.
Maka, ingatnya tangan adalah ingat hukum-hukum-Nya, ketika tangan mampu mencuri, ingatnya mata ketika mampu mengurungkan niatnya untuk melihat hal-hal yang dilarang, dan ingatnya perut ketika mampu menolak ketika kemasukan makanan yang haram.
Maka, ingat kepada-Nya itu dengan mulut, yang disertai ingatnya hati dan seluruh anggota badan. Tanpa itu, bacaan lisan hanya menjadi ritual kosong yang tidak memiliki makna. Dan merenung yang dilakukan pada keheningan (malam), lebih mudah meresap dalam hati.
Sehingga hati lebih peka (halus) sehingga mudah menerima nasihat tentang kebajikan. Mengamalkan zikir malam, setiap guru punya cara berbeda. Ada yang lebih menekankan istighfar, karena menyadari bahwa manusia itu banyak melakukan dosa. Ada yang lebih menekankan salawat Nabi, karena dengan salawat itu, kita memperoleh kekayaan jasmani rohani.
Ada juga yang memilih kalimah tayyibah: La ilaha illallah karena itu sebaik-baik zikir. Ada yang cukup dengan zikir ismu zat: Allah, Allah, Allah, dan itu dilakikan berulang kali sambil membayangkan itu adalah zikir yang terakhir kalinya, karena dia semakin mengingat, sebentar lagi ajal menjemputnya.
Maka, apa yang dipilih guru sebagai jalan atau tarekat, tujuannya menuju kepada Allah. Dan andaikan harus mencari cara berzikir formal (tarekat) pilih yang muktabaroh, yang memiliki mata rantai hingga Nabi SAW. Ini untuk memantapkan hati, sekaligus ada pembimbing, tempat untuk bertanya jika ada masalah yang berkaitan dengan amalannya.
Zikir, walau tidak ada keharusan diformalkan sebagai “lembaga” posisinya hampir sama dengan olah fisik. Maka, tanpa peran instruktur yang berpengalaman, seseorang cenderung tidak disiplin dan memilih amalan yang ringan.
Baik buruknya seseorang banyak dipengaruhi sekitarnya. Orang yang setiap saat bergaul dengan orang jahat, dia bisa terbawa arus kejahatnya. Dan jika bergaul dengan orang saleh, insya Allah dia mendapatkan sebagian dari kebaikannya.
Manusia itu ibarat kerbau. Jika ia berkumpul kerbau yang kotor, pelan namun pasti, kerbau yang ada disekitarnya mengenai tubuhnya. Namun jika kerbau itu berdekatan dengan pedagang minyak wangi, maka akan tersentuh dan merasakan keharumannya.
Begitu besar pengaruh pergaulan, maka ulama besar tasawuf, Fudhail bin ‘Iyadh memberi nasihat: “Barangsiapa duduk (bergaul) dengan ahli bid’ah, maka dia tidak akan diberi ilmu yang bermanfaat.”
Begitu juga jika bergaul dan membantu aktivitas orang itu, maka Allah akan menjadikan kita berada dalam pengaruhnya. “Barangsiapa yang membantu kezaliman, Allah akan menjadikannya berada di bawah kekuasaan orang zalim itu.” (H.R. Ibn Asakir).
Lalu siapakah orang saleh itu? Mereka tidak harus guru atau kiai. Gelar itu melekat pada orang yang keilmuan agamanya lebih dari cukup, karena kriteria kesalehan itu ada pada perilaku yang baik menurut manusia, dan menurut Allah. Tamat