SEKITAR 30-an tahun silam, di daerah saya masih ada tradisi tedhak sinten. Yaitu, balita usia 245 hari (7-8) bulan, dimasukkan dalam kurungan ayam dari anyaman bambu dan didalamnya ada berbagai mainan: mobil, pedang, uang, alat tulis, pistol, bola, dsb.
Konon, cara itu untuk mendeteksi kecenderungan anak ke depannya. Jika yang pertama dipegang pedang atau pistol, kelak anak itu jadi polisi atau tentara. Jika yang dipegang mobil, kelak aktivitasnya seputar dunia mobil : Dealer, travel, pembalap, sopir. Jika alat tulis, tak jauh dari keilmuan : Guru, dosen, wartawan, penulis. Jika yang dipegang kaca atau cermin, tak jauh dari dunia rias (salon),dsb.
Selain cara tersebut, ada juga cara yang lebih ekstrem. Cucu diprogram oleh orangtuanya ketika menanam ari-ari dengan menyertakan beberapa benda yang dia inginkan kelak anak itu akan menjadi apa. Benda-benda itu dijadikan satu dengan ari-ari yang dipendam.
Usia anak sampai akhil balik kondisi gelombang otak cenderung pada level alfa, yaitu kondisi saat subconscious mind pikiran bawah sadar masih dominan, akses ke makrokosmos masih sedemikian mudah, dan critical area belum berfungsi maksimal. Sehingga segala aktivitas masih tertuntun oleh intuisi yang “nyambung” ke alam semesta.
Acara tedhak siten adalah tradisi dalam daur hidup manusia Jawa. Dilakukan pada tujuh kali selapan atau 35 hari. Jika mengikuti pakem, upacara tedhak siten itu dipimpin dukun bayi. Dalam upacara itu biasanya digunakan berbagai sesaji dan wilujengan dengan : bubur ketan tujuh warna, kurungan ayam, beras kuning, uang koin untuk udhik-udhik yang ditebar oleh ayah dari balita.
Ada juga aneka sesaji yang mewakili simbol permohonan kepada Tuhan, misalnya: bubur tujuh warna melambangkan si balita nanti diharapkan selamat dalam mengarungi warna warni kehidupan, menginjak tebu (anteping kalbu) atau diberi keteguhan hati, uang koin dengan pengharapan agar anak itu kelak menjadi pribadi yang murah hati pada sesama, dan kurungan ayam berarti saat masa asuhan oleh orangtua. Balita itu akan memilih salah satu dari benda : alat tulis, kalkulator, stetoskop, pesawat, cermin, seikat padi dan lain-lain.
Benda pertama yang dipilih itu konon melambangkan profesinya setelah dewasa. Pada upacara adat Jawa dilakukan sesuai pakem komplet dengan aneka sesaji dan mantra yang diucapkan dukun bayi dan orang tua balita. Dan saat itu diyakini ada leluhur rawuh memberi doa restu si jabang bayi.
Lambang
Pada persiapan barang yang akan dipilih bayi itu juga melambangkan bagaimana kelak dia akan dididik dan diarahkan kedua orang tuanya. Jadi saat upacara tedhak siten, orang tua menyiapkan benda pilihan bayi secara acak, dan ini berbeda dengan orang tua yang memilihkan aneka barang khusus.
Hal itu berkaitan doa dan pengharapan kedua orangtua terhadap bayi, bahkan ada juga orangtua yang sudah memilihkan barang seperti: Stetoskop, thermometer, misalnya agar si anak diharapkan menjadi dokter, atau berbagai alat tulis, buku bagi orang tua yang mengharapkan anaknya kelak jadi orang berilmu.
Terlepas dari tradisi yang memiliki makna bagus, sebenarnya ritual ini juga terkandung maksud untuk ngayem-ngayemi atau menghibur hati orangtua tentang masa depan anaknya kelak. Karena orangtua akan terbentuk sugesti yang positif.
Misalnya, saat anak pegang mobil-mobilan, orang tua menjadi senang, karena disimbolkan anak itu kelak akan jadi pengusaha mobil, atau punya mobil yang menyimbolkan orang kaya. Walaupun makna mobil ini luas. Diantaranya : punya dealer mobil, koleksi mobil, sebatas punya mobil, pembalap, jadi sopir pribadi, sopir tembak, atau bisa juga tukang cuci mobil.
Jadi, bagi orang tua sebaiknya tidak terlalu penting melakukan acara ritual ini untuk “memprediksi” masa depan anaknya, atau jika harus melakukan, sebaiknya ada sesepuh yang mendampingi untuk mengartikan makna yang bagus –bagus, minimal untuk penghibur hati, atau syukur jika isarah atau tanda-tanda itu bisa menjadi prasangka baik, karena prasangka juga bagian dari doa orangtua kepada anak-anaknya.
Tedhak siten, rangkaiannya terdiri dari menginjak, menyentuh beberapa tekstur seperti pasir, lengket, kenyal, dll. Dan ini lebih pada bagaimana leluhur kita mengajarkan stimulus yang harus dilalui anak, kemudian naik tangga tebu, sambil mencengkram dengan tangan agar anak mampu memegang dengan erat tumpuannya.
Sedangkan dalam kurungan itu tidak lebih hanya diberikan stimulus yang banyak, dan mencoba menghadapkan pada anak berbagai macam pilihan yang disajikan. Dan itu bukan tes bakat atau minat, tapi lebih pada proses anak mampu merekam dan mendapatkan stimulus atau rangsangan yang banyak sehingga anak memiliki kekayaan pengalaman pada usia dini.
Kondisi anak itu mudah diprogram pikirannya, karena filter critical factor-nya belum berfungsi penuh, hingga apa pun yang terjadi pada lingkungan sekitarnya, mudah diserap dan diterimanya.
Ada saran dan pantangan saat ibu hamil. Tujuannya agar hal-hal yang tidak baik itu tidak mempengaruhi bayinya. Dikenalkan sesuatu terus menerus dengan intensitas, maka terbentuklah satu keahlian atau kebiasaan. Tedak siten adalah tradisi luhur untuk mengenalkan generasi baru pada tanah sekaligus dimensi kehidupan.
Itu menunjukan begitu besar pengaruh orang tua kepada anaknya, karena anak adalah imitator ulung yang bisa merekam apa yang ada di lingkungannya, seperti spon yang mudah menyerap air, maka jika anak bermasalah, bisa jadi yang bermasalah itu kedua orang tuanya.
Namun, diakui atau tidak. Saat ini peran dan fungsi orang tua (sebagian) tergantikan oleh lingkungan. Termasuk televisi, internet, media sosial, hingga perilaku anak pun cendrung mengikuti apa yang dilihatnya.
Masruri, praktisi dan konsultan metafisika tinggal di Sirahan, Cluwak, Pati.