Ilustrasi. Reka: Wied

JC Tukiman Tarunasayoga

SUDAH sejak bangun tidur pagi tadi, Pak Darma, Kepala Dusun (Kadus) Suka Hati merencanakan akan menghadap Pak Lurah Desa Suka Maju untuk mohon pencerahan atas masalah warganya.  “Ini masalah kebudayaan,” pikir Darma yang sepantasnya masih sangat layak dipanggil “Mas” berhubung ia lahir pada tahun 1988.

Dan yang dipandangnya paling mumpuni dalam masalah kebudayaan di Desa ini, ya satu-satunya adalah Pak Lurah.  Tepatnya sih sebutan atau panggilannya Pak Kades; namun rata-rata orang lebih senang menggunakan panggilan Pak Lurah, termasuk yang bersangkutan lebih senang dipanggil Pak Lurah.

Pak Lurah: Tumben mruput sudah menghadap Mas Darma?
Mas Kadus: Leres Pak Lurah. Ada masalah kebudayaan pelik bagi kami generasi kelahiran seputaran 1990, Pak.
Pak Lurah: Hohohoho…….. apa sing angel? Ora ana barang angel di dunia ini. Tidak ada yang sulit di dunia ini.
Mas Kadus:      Mohon pencerahan Pak Lurah, apa perbedaan antara rikuh, isin, dalah wirang (RIW)  punika, punapa Pak?
Pak Lurah: Hohoho…….. piye ta larah-larahe? Ada apa kok tiba-tiba bertanya apa bedanya RIW itu?
Mas Kadus: Kemarin sore ada warga sepuh di Dusun Suka Hati memarahi remaja anaknya tetangga seraya berulang kali mengatakan: “Bocah enom ora ngerti rikuh, apa maneh isin. Suk mben yen kowe kena wirang, embuh lho ya”.

Baca juga Nir Ing Sambekala

Terdiam sejenak, Pak Lurah berkata: “Begini,  orang tua itu menegur, bukan memarahi agar sejak remaja pun seseorang itu selayaknya tahu apa yang disebut rikuh, isin, dan wirang. Jangan sampai nantinya kewirangan, dipermalukan. Bagus orang tua itu, Cuma caranya memberi tahu, sebaiknya lebih sabar, alon, sareh. Tapi bagus hohohoho………..”

Rikuh lan Isin

“Masalah kebudayaan” memang sedang berlangsung “serius” saat ini, sebutlah sedang terjadi degradasi, penurunan,  atau sekurang-kurangnya menipis dalam arti semakin kurang dipahami. Di antara masalah itu, banyaklah keluhan dari orang-orang tua terhadap orang-orang muda yang entah karena apa, kurang paham tentang RIW tadi.

Ungkapan umumnya mengatakan: Ora duwe rikuh, tidak memiliki rasa rikuh; semakin ora duwe isin, apa maneh dapat menghayati wirang.

Rikuh itu memiliki tiga makna: pertama kidung, perasaan atau sikap serba kurang pas, kikuk. Bayangkan, remaja yang sedang naksir dan tiba-tiba bertemu dengan orang tua dari cewek taksirannya. Salah tingkah, dan itulah kidung.

Arti kedua rikuh ialah jiguh, lebih “berat” dari kidung tadi, karena bisa-bisa tidak berani berkata apa-apa, mukanya merunduk. Mengapa begitu?  Arti ketiganya rada isin, agak malu-malu, apalagi ditanya: “Sekolahmu bagaimana? Nilai rapormu lebih bagus dari rapotnya Ika, atau lebih jelek?” Jangankan menjawab, menegakkan wajah saja tidak mampu.

Isin, sering disebutkan secara lebih halus lingsem, dimaknai dengan ungkapan “rasa rumangsa rikuh,”  maksudnya,  karena ada rikuh, maka automatis seseorang seharusnya isin, yaitu malu.

Baca juga Kentekan Abab

Menjadi lebih isin lagi kalau seseorang melakukan sesuatu yang ngisin-isini, sangat memalukan. Misal, melanggar peraturan, apalagi dia itu anak pejabat. Ngisin-isini bukan saja dia yang bersangkutan yang seharusnya malu, melainkan juga pejabat yang sang ayah itu seharusnya yang  lebih  merasa malu.

Degradasinya ialah, semakin banyak anak, juga orang tuanya semakin ora duwe isin, semakin hilang urat malunya. “Aku kan berkuasa, masak tidak boleh main kuasa?” sebutlah misalnya ada pejabat yang berkata  begitu.

Wirang

Jika rikuh dapat menimbulkan isin, keduanya itu bila benar terjadi, apalagi bagi para pejabat, seharusnya hal itu menyebabkan wirang sejauh syaratnya terpenuhi. Satu-satunya syarat rikuh dan isin  dapat  menyebabkan wirang  ialah manakala kaweruhan ing akeh, yaitu perbuatannya diketahui atau dilihat oleh khalayak ramai.

Contoh konkretnya, kalau tiba-tiba Pak Lurah Suka Maju tadi mengangkat anaknya menjadi kepala urusan (ka-ur) padahal tanpa ada ba….bi…..bu dengan siapa pun (kecuali dengan bu lurah); nah …….seharusnya kejadian itu sudah masuk kategori gawe wirang, ngisin-isini amarga kaweruhan ing akeh.

Kok bisa tiba-tiba mengangkat anaknya sebagai ka-ur? Bisa saja  karena semua ternyata bisa  diatur, termasuk mengatur agar perangkat yang lain mendukung. Degradasinya seperti apa? Satu hal yang jelas ialah, seharusnya Pak Lurah menjadi contoh orang yang taat aturan, ehhhhhh lha kok justru dia yang melakukan tindakan tidak taat itu. Degradasinya lebih terasa lagi manakala Pak Lurah ora rumangsa kliru, seraya berucap: “Mosok, mrenah-mrenahke anak ora oleh?” Boleh kan orang tua mencarikan pekerjaan untuk anaknya?

Dalam degradasi semacam itu, dan Pak Lurah masih sebagai contohnya, berarti beliau menempuh “jalan budaya” wani wirang. Jalan budaya wani wirang ini memang bagaikan  keping mata uang: Jika bernasib baik, ya moncer, jaya, dan sorak-sorak bergembira menjadi lagu wajibnya; namun bila tidak beruntung,  ya bakale kewirangan.

Kapan keping mata uang ini akan terundi lalu ketahuan hasilnya? Inilah pertanyaan sangat sulit, sesulit Mas Kadus Darma tadi melihat “masalah kebudayaan” berhubung ia termasuk generasi tahun 90-an.

Kesulitan mas Darma teratasi berhubung ia berani minta pencerahan Pak Lurah. Nah, sekarang, berhubung yang menempuh “jalan kebudayaan” itu justru Pak Lurah, ia akan mencari pencerahan kepada siapa? Tunggu, episode selanjutnya.

JC Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Soegijapranata Catholic University