JC Tukiman Tarunasayoga
DALAM masa kampanye ini, fakta lapang sebagai keniscayaan yang akan terlihat jelas, ialah: Para calon (entah para capres, cawapres, atau pun caleg, termasuk di dalamnya jurkam) akan mengalami dua (padahal tunggal) fenomena, yakni kentekan abab, dan karena itu bisa menjadi seolah-olah sebaliknya kakehan abab. Intinya sama, yaitu barang dagangannya terbatas, tidak ada stok lagi.
Kampanye, dalam banyak bukti, terepresentasikan dalam omong dan/atau omongan, sehingga ada persepsi sapa sing akeh omong(an)e, dialah yang dianggap berhasil, sukses, atau paling pinter, paling jago, dan paling menguasai masalah.
Kalau dalam debat, dia yang masih kelebihan detik-detik untuk omong tetapi tidak dimanfaatkan, dianggapnya orang itu gagal, atau kurang pinter, karena kurang bisa omong.
Padahal, dari sisi lain, sebutlah diteropong dari khasanah budaya Jawa, orang yang banyak omong itu disebut kakehan abab, sementara bagi dia yang wis ora bisa omong, sering disebutnya kentekan abab.
Tentang kakehan dan kentekan abab inilah topik bahasan minggu ini senyampang khalayak menanti-nanti debat cawapres.
Di benak sebagian besar khalayak, debat cawapres ini jauh lebih menarik dari debat capres karena topik di atas: Sapa kang bakal kentekan abab?
Abab, –maaf seribu maaf membahas tentang hal ini-, ialah hawa kang metu saka cangkem, udara yang keluar (dikeluarkan) lewat mulut. Karena itu saya minta maaf mengingat hawa saka cangkem itu pasti bau, sebutannya abab-(mu) mambu.
Itulah yang disebut omong atau pun omongan itu. Karena itu akan ada pihak yang nantinya kakehan abab, yakni banyak omong, padahal hukum alamnya “semakin banyak omong atau omongan, pastilah orang dapat “jatuh” mung omong kosong.” Sebaliknya, akan kita lihat sapa sing bakal kentekan abab.
Kalau nanti entah di tengah-tengah debat, entah pula diakhirnya ada komentar banyak orang: “Ooooo jebul mung abab wae,” itu maksudnya apa yang disampaikan oleh para cawapres itu maksudnya mung swara thok, ora ana kanyatane, sekedar omongan (manis) sebab tidak ada bukti nyatanya. Kata lainnya, retorika saja. Lebih “ngeri” lagi kalau ada komentar: “Jebule, kita ini mung diababi, sekedar dikenai abab, omongan belaka yang mungkin saja menarik atau menggiurkan, menggoda.
Kakehan = Kentekan?
Kakehan, asal katanya akeh, artinya banyak; maka kakehan abab bermakna terlalu banyak (hanya) omong atau omongan saja. Sedangkan kentekan, asal kata dari entek (bacalah seperti Anda mengucapkan kernet atau melek huruf) yang artinya habis. Maka kentekan abab berarti kehabisan omong(an).
Namun, dalam kondisi debat, baik kakehan abab atau pun kentekan abab, sangatlah mungkin tampilannya sama saja dan yang membedakan hanyalah berisi, bernas, mantap jiwa, atyaukah hanya omong kosong. Mari kita cermati apakah kakehan ataukah kentekan abab lewat beberap indikator berikut ini:
Pertama, mari kita lihat apakah terjadi pengulangan kata, isu, contoh, diksi, atau pun gimik. Mengulang-ulang kata atau isu, sangat bisa jadi calon itu menekankan betapa pentingnya hal itu diomongkan lagi.
Namun, jika pengulangan itu tanpa ada makna atau isi baru, yah………. kentekan abab dia, lewat kakehan abab. Lihat misalnya, seolah-olah ia menguasai masalah, omong sana omong sini, nah…………. itu bukti nyata betapa mung abab thok. Khalayak akan tahu lho, omongan mentes atau sekedar kakehan abab dari para cawapres.
Kedua, nanti akan terlihat, siapa akan sewot/sinis, siapa kepala batu, siapa pula bergaya sok; dan semua itu sangat jelas terungkap dari cara omongnya.
Ababnya akan bau atau tidak, khalayak pasti akan merasakannya lewat dia yang sewot, kepala batu atau sok tadi. Di sinilah yang disebut mung diababi wae.
Ketiga, perlu kita perhatikan cara “para pemandu sorak” memberikan respon atau pun dukungan kepada jagonya. Dalam konteks debat, para “pemandu sorak” termasuk golongan urun abab.
Pasti mereka sudah mengatur strategi sedemikian rupa untuk menempuh “berbagai cara” melakukan dukungan atau merespons. Apa yang akan mereka lakukan, pasti ada kaitannya dengan entah kakehan abab entah pula kentekan abab.
Adol abab
Apakah kampanye (baca debat) lalu dapat disebut sebagai adol abab semata? Terlalu kasarlah kalau dikatakan sekedar media adol abab karena harapan terpenting sebuah debat adalah berlangsungnya adu gagasan, adu argumentasi secara akal sehat seraya mengedepankan asas sopan-santun debat.
Pasti mereka yang berdebat, juga moderator debat, termasuk panelisnya tahu rambu-rambu debat semacam itu. Kepastian ini akan menjadi sangat lebih indah manakala para pemandu sorak tidak jatuh sekedar sebagai pihak yang mung adol abab.
Khalayak masyarakat pasti tahu dan sangat merasakan hal ini. Percayalah dan karena itu hati-hatilah katimbang terjadi senjata makan tuan.
Nafas Baru
Barang siapa percaya akan karya Roh Allah, kepadamu akan diberikan hidayah, sebab ada jaminan tertulis demikian: “Jangan khawatir terhadap apa yang akan kamu katakan, karena Roh Allah akan memberimu kata-kata itu.” Nah……….. debatlah secara cerdas-bernas, penuh nafas baru, dan jangan hanya nafas bau; serta janganlah khawatir terhadap apa yang akan kamu katakan asal saja percaya akan karya Roh.
JC Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Soegijapranata Catholic University