Kyai Hisyam Zamroni, Kepala KUA Batealit yang juga Wakil Ketua PCNU Kab. JEPARA saat memberikan sambutan. Foto: Adi Pratama

Oleh : Adi Pratama

Pada malam yang dihiasi dengan keberkahan, Masjid Jami’ Darul Muttaqien di Dukuh Cangkring, Desa Bringin, menyelenggarakan sebuah peristiwa spiritual yang mengandung lapis-lapis makna dalam dimensi metafisik dan kultural yang terjalin erat pada Desa Bringin, 20 Maret 2025.

Khataman malam selikuran yang diselenggarakan setelah Solat Tarawih sebagai bagian dari Festival Kenduri Among Riyoyo yang diprakarsai oleh Karang Taruna Cakra Muda, tak hanya sebatas ritual keagamaan, melainkan juga sebuah wujud dari konsolidasi antara ajaran Islam yang universal dan kebudayaan Jawa yang bersifat lokal dan kontekstual. Keduanya bergerak dalam satu garis temporal yang tidak saling bertentangan, melainkan saling mengisi.

Acara yang digelar dengan demikian istimewa itu dihadiri oleh berbagai kalangan masyarakat, mencerminkan antusiasme yang luar biasa dari masyarakat. Kehadiran berbagai tokoh masyarakat, di antaranya Petinggi Desa Bringin, jajaran perangkat desa, Kepala  KUA Kecamatan Batealit, Wakil Ketua PC NU Kabupaten Jepara, para Kyai, dan sejumlah sesepuh serta tokoh lokal lainnya, turut menambah gravitasi acara ini, menjadikannya sebuah peristiwa sosial dan kultural yang sangat berarti.

Petinggi Desa Bringin, Sumardi saat memberikan sambutan. Foto: Adi Pratama

Rangkaian acara dimulai dengan pembukaan yang disampaikan oleh MC Faisal Amirul Falah dari Karang Taruna Desa Bringin, yang dengan retorika yang terstruktur dengan baik, menyajikan suasana yang menggugah semangat. Sambutan pertama disampaikan oleh Ketua Karang Taruna Desa Bringin, yang mengungkapkan apresiasi terhadap terlaksananya acara yang memadukan antara elemen-elemen tradisional dan kontemporer, membuktikan bahwa pemuda Desa Bringin tidak hanya menjaga, tetapi juga merespons dengan adaptasi yang elegan terhadap perkembangan zaman.

Sambutan berikutnya diberikan oleh Kyai Hisyam Zamroni, Kepala  KUA Kecamatan Batealit, yang mengungkapkan penghargaan yang mendalam terhadap keberanian pemuda dalam mengintegrasikan nilai-nilai kultural Jawa dengan ajaran Islam. Beliau menegaskan bahwa meskipun Islam dan budaya Jawa memiliki substansi yang berbeda, keduanya bukanlah entitas yang harus saling bertabrakan, melainkan dua kekuatan yang dapat berfungsi sebagai komplementer, bersinergi dalam kerangka yang lebih luas, memelihara kedalaman spiritual tanpa mengabaikan akar budaya lokal.

Suasana Khataman Malam Selikuran dalam Kenduri Among Riyoyo di Desa Bringin. Foto: Adi Pratama

Selanjutnya, Petinggi Desa Bringin turut memberikan sambutan yang berisi apresiasi yang mendalam terhadap inisiatif Karang Taruna Cakra Muda. Dalam pandangan beliau, acara ini bukan hanya sekadar perayaan budaya, tetapi sebuah perwujudan dari kekuatan budaya yang mampu bertahan dan beradaptasi dalam konteks zaman yang serba cepat ini.

Petinggi Desa Bringin menegaskan bahwa budaya Jawa dan ajaran Islam memiliki ruang yang tidak tumpang tindih, melainkan memiliki dimensi yang berbeda, namun dapat hidup berdampingan, saling memperkaya tanpa saling mengurangi substansi inti masing-masing.

Puncak dari acara ini adalah khataman yang dipimpin oleh Ustadz Hasyim Mabruri Alhafidz, yang dengan kebeningan jiwa dan kelapangan hati memimpin acara ini dalam nuansa khidmat yang mendalam. Tahlil yang dipimpin oleh Kyai Sutoyo melengkapi keindahan spiritual malam itu, menjadikannya sebagai bentuk penyerahan diri kepada Sang Maha Pencipta yang lebih besar dari segala yang ada. Dalam suasana ini, dapat dirasakan bahwa kegiatan ini tidak hanya sebuah seremonial belaka, tetapi sebuah proses transendental yang menghubungkan umat dengan dimensi yang lebih tinggi.

Secara keseluruhan, acara ini memancarkan esensi dari pemahaman yang lebih dalam bahwa Islam sebagai agama dengan kaidah universalnya dan budaya Jawa dengan kekayaan tradisi dan lokalitasnya, bukanlah dua entitas yang harus dipertentangkan. Keduanya adalah dua dunia yang berjalan sejajar, menyatu dalam satu komposisi yang harmoni.

Bahkan, dalam keberagaman tersebut, keduanya justru saling memperkaya, membangun ruang pertemuan yang menuntun masyarakat untuk memahami bahwa agama dan budaya, meskipun memiliki ruang dan bahasa masing-masing, pada akhirnya bertujuan untuk mencapai kedamaian yang sama, baik dalam dimensi vertikal kepada Tuhan, maupun dalam dimensi horizontal antar sesama manusia.

Harapan besar pun tercetus pada akhir acara, agar peristiwa semacam ini tidak hanya terfokus pada Dukuh Cangkring, melainkan dapat meluas ke seluruh penjuru Desa Bringin dan wilayah sekitar, menjadi sebuah tradisi yang mengikat umat dalam sinergi antara ajaran agama yang luhur dengan budaya lokal yang penuh kearifan. Sebuah penegasan bahwa meskipun agama dan budaya memiliki garis yang berbeda, mereka dapat berjalan berdampingan dalam harmoni yang abadi.

Penulis adalah pegiat budaya Jepara