JC Tukiman Tarunasayoga
MAU cepat menjadi guru besar, pakailah atau tempuhlah akal koja. Tidak perlu menjadi “guru cilik” dulu dan setelah itu baru meniti karir menjadi guru besar. Kesuwen, kelamaan tuh.
Mau cepat menjadi pejabat, pakailah dan tempuhlah akal koja. Semua ada aturannya, memang; namun ada peluang kok aturan-aturan itu di-akal-kojani. Yang terpenting kelakon dadi guru besar, dadi pejabat, dadi orang nomer satu, kan? Selamat memangku jabatan-jabatan dengan cara menempuh akal koja. Apakah dalam menjalankan tugasnya (akan penuh) amanah, nah………. Itu perkara nanti, bukan sekarang. Lagi pula yang akan “menilai” kan masyarakat, bukan yang bersangkutan.
Koja
Kosakata koja termasuk kuna; dan di dalam kekunaannya, Koja merujuk pada kelompok saudagar sabrang adoh sangkan parane; saudagar yang datang dari jauh, dan menurut Baoesastra Djawa tahun 1929, Koja diidentifikasi sebagai pedagang dari Indu atau Moer. Dari mana itu? Embuh, pokoke adohhhhh……banget.
Konon, dalam perkembangannya, Koja tidak sekedar menunjuk kelompok orang, namun lalu mengarah kepada sifatnya. Disebut wong koja karena orang atau pedagang itu pinter memerdayai (calon) pembeli. Entah dengan trik apa, mungkin pakai jurus “ini bukan sulap, bukan sihir,” ehhhhh jadinya beli juga padahal semula tidak berminat. Jadi, koja lalu bermakna wong kang pinter ngreka-reka, termasuk di dalamnya mungkin ya termasuk pinter akal-akalan.
Baca juga Ora Nggabres Ora Ngrewes
Kosakata akal koja lalu menjadi bahasa pocapan, bahasa percakapan di warung kopi atau entah mana pun untuk melukiskan betapa orang itu kalebu wong pinter apus-apus, wong pinter akal-akalan.
Paribasan
Koja bukan hanya merujuk orang(nya), sifat(nya), tetapi juga menunjuk kepada produknya. Produk yang ditawarkan oleh para pedagang Koja itu antara lain kain. Rupanya lalu menjadi trade-mark khas, yaitu kain koja. Sampai-sampai, dari pocapan muncullah peribahasa, berbunyi: Menthung koja kena sembagine; arti lurusnya maksud hati mau memukul kainnya, tetapi yang rusak tenunannya atau gambarnya.
Apa makna menthung koja kena sembagine? Peribahasa ini melukiskan rumangsane pinter ngapusi, jebule malah kapusan dhewe. Ada saja dalam kehidupan ini orang yang merasa bahwa dirinya pintar membuat akal-akalan, pintar menipu; padahal dalam kenyataannya dia sendirilah yang sebenarnya sudah tertipu lebih dahulu.
Seorang bernama Montrealer menuliskan catatan kecil berjudul “Siasat yang menyerang diri sendiri.” Pada suatu hari, seorang bapak muda namun pemarah membuat janji akan menemui istrinya untuk berbelanja di suatu mal. Lima belas menit pertama ia masih sabar, seraya mondar-mandir di lobi mal; namun lima belas menit kemudian ia sudah tidak sabar menunggu. Ia pergi ke studio foto, dan membuat empat pasfoto dengan wajah-wajah marah.
Baca juga Kertu Lima
Empat foto itu dititipkan kepada satpam, pesannya, tolong foto ini berikan kepada seorang wanita dengan ciri-ciri yang disebutkannya secara rinci. Setelah menitipkan pasfoto itu, ia balik ke kantornya seraya merasa puas; karena pikirnya: Kalau satu foto saja bisa mengungkapkan 1.000 kata, apalagi empat pasfoto.
Benar. Tak lama kemudian, sang istri itu datang, dan titipan foto yang disampaikan oleh satpam langsung disimpannya ke dalam dompet. Waktu berjalan terus, dan setiap kali sang istri ditanya teman atau kenalannya: “Mana suamimu, kenalin, dong!!”
Ia lalu mengeluarkan dompetnya dan menunjukkan empat pasfoto yang disimpannya itu kepada setiap orang yang menanyakannya.
Akal koja kena batunya, inilah judul yang sebenarnya lebih tepat untuk artikel ini. Berhentilah main akal-akalan, sebab suatu saat nanti Anda baru akan tersadar bahwa dirimu telah tertipu lebih dahulu.
JC Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Soegijapranata Catholic University