Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga
Berharap Anda belum bosan bicara tentang gajah (minggu depan pun mungkin masih akan bicara gajah); dan kali ini juga masih tentang paribasan, peribahasa terkait gajah; yakni Gajah ngidak rapah.
Namun, masih terkait tulisan minggu lalu (Semut ngadu gajah), ada seorang sahabat bertanya: “Kalau kita main pingsut, mengapa atau alasannya apa jempol menang atas telunjuk, padahal jempol justru kalah oleh kelingking, dan kelingking kalah oleh telunjuk?”
Pertanyaan lewat japri itu sengaja belum saya jawab, dan jawabannya sekarang ini (semoga ia membaca tulisan ini), yakni: Konon, jempol (personifikasi gajah) kalah oleh kelingking (semut) karena semut dapat leluasa masuk ke dalam telinga gajah; sedangkan gajah tidak mungkin masuk ke telinga semut (oppps apakah semut punya telinga?).
Baca Juga: Semut Ngadu Gajah
Bayangkan saja, telinga kita kemasukan semut, pontang-pantinglah kita, meskipun begitu masih sangat mungkin mampu mengatasi lewat dikorek-korek atau telinga kita tuangi air. Bayangkan kalau yang mengalami itu gajah; betapa ia akan lari ke sana lari ke mari tanpa dapat berbuat apa pun. Jarene ngana critane, embuh tenane; katanya begitu sih makna jempol kalah oleh kelingking.
“Gajah”
Gajah ngidak rapah, peribahasa dengan mengutamakan guru swara, keindahan suara perpaduan vokal-konsonan ….ah (dalam gajah dan rapah); sedang maknanya sendiri atas gajah ngidak rapah ialah wong sing nrajang pepacuhane dhewe, orang yang melanggar atas aturan-aturan yang dibuatnya sendiri.
Siapa yang dimaksudkan dengan “orang” di sini? Ya siapa sajalah. Dia bisa orang tua yang menggariskan kepada anak-anaknya tidak boleh nonton televisi pada jam belajar malam; tetapi ia sendiri nongkrongi siaran sinetron sepanjang jam belajar itu. Kalau diprotes anaknya, ia berkilah: “Lho…yang butuh belajar kan kamu, bukan saya?” Ia berkata begitu secara enteng saja, padahal ia sendiri membuat aturan di rumah itu.
Apa yang terjadi atau dilakukan oleh orangtua terhadap anaknya seperti itu, sangat mungkin bisa terjadi di kantor, instansi apa/mana pun; intinya si pembuat aturan atau rambu-rambulah biasanya justru yang pertama-tama “melanggarnya.” Mengapa kecenderungan seperti itu terjadi? Dalam benak si pembuat aturan/rambu-rambu, umumnya berfikir, semua aturan atau rambu-rambu itu memang untuk mereka “yang perlu diatur” dan bukan untuk dirinya.
Kalau “yang perlu diatur” itu anaknya, ya berarti anaknyalah yang melaksanakan aturan itu, bukan ortunya; dan kalau yang perlu diatur itu anak buah agar disiplin serta tepat waktu masuk kantor, si pemimpin kantor merasa “bukan akulah” yang harus disiplin dan tepat waktu itu. Itulah “gajah” dalam arti rumangsa gedhe lan kuwasa, kudu ngatur wong liya; sementara ia sendiri tidak berkewajiban apa pun kecuali membuat aturan itu.
Rapah
Sebenarnya, arti rapah itu sederhana banget, yakni berbagai daun kering atau ranting pohon yang berserakan di tanah. Sebutlah sampah atau uwuh dalam Bahasa Jawa. Barang-barang berserakan seperti itulah yang diinjak-injak si gajah karena ia merasa berhak untuk menginjak-injak dan tidak merasa ada kewajiban apa pun kecuali melanggarnya (menginjak-injak).
Inilah bentuk ketidakadilan yang terjadi di mana pun, namun sering ditolerir bahkan dianggap sebagai hal yang wajar atas nama sebuah “kekuasaan,” persis seperti gajah yang melenggang ke sana ke mari padahal menginjak-injak apa saja.
Baca Juga: Setan Nunggang Gajah
Gajah ngidak rapah pasti tidak saja menggambarkan adanya praktek ketidakadilan atas nama “kekuasaan” seseorang terhadap anakbuahnya; namun juga menyiratkan betapa sering tidak berdayanya “pihak yang diinjak-injak itu.” Dengan kata lain, yang di atas kuat seraya memanfaatkan kekuatannya itu, sedang yang di bawah lemah tidak berdaya, pun rentan untuk harus melakukan banyak hal.
Gajah ngidak rapah, kecenderungan orang (penting) melanggar aturan yang dibuatnya sendiri, semakin menggejala justru seiring dengan tingginya jabatan seseorang. Benarkah? Sering mendengar cerita dari mulut ke mulut, betapa ada (banyak?) instansi yang memiliki aturan tidak tertulis tentang mutasi petingginya.
Semakin tinggi jabatan seseorang di instansi itu, semakin cepat mutasinya; dan karena itu bisa saja menduduki jabatan hanya dalam kurun waktu kurang dari satu tahun, sudah pindah; berikutnya belum juga genap sepuluh bulan sudah pindah lagi.
Kalau cerita semacam itu betul, bayangkan saja berapa banyak orang yang merasa “diinjaknya” karena sangat terbuka peluangnya “si gajah” ini membuat aturan (baru) di tempatnya yang baru dan dilanggarnya. Semoga cerita ini ilusi belaka.