blank
Ilustrasi/industry.co.id

Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga

blank
JC Tukiman Tarunasayoga

Adakah Anda pernah melihat setan mengendarai gajah, setan nunggang gajah? Hebat sekali penglihatan Anda jika pernah melihatnya.

Namun karena ungkapan  setan nunggang gajah ini sebuah paribasan, sebuah peribahasa,  sebuah perlukisan untuk menjelaskan betapa dalam kehidupan sosial ini ada saja orang-orang yang ingin mengambil keuntungan dan kenyamanan diri demi kepentingan sendiri; maka hendaklah jangan heran, kok ternyata ada setan nunggang gajah itu.

Makna terdalamnya ialah wong sing mung golek kepenake dhewe, sebuah peringatan agar kita hati-hati mengingat ada saja orang yang selalu mencari dan mencari keuntungan dan kenyamanan hanya demi dirinya sendiri.

Baca Juga: Man, Ijazahmu Asli, Tulen, Murni atau Palsu?

Omongannya mungkin bagus, menggebu-gebu dan selalu mengatakan untuk kepentingan bangsa dan negara, nampak penuh kerendahan hati, eh……jebule mung setan nunggang gajah. Omongannya semata-mata untuk mengelabui niatnya saja, sebab niat hatinya betul-betul demi gengsi diri sendiri, nama baik diri sendiri, dan lalu biar semakin terkenal.

Mengapa?

Apakah wong sing mung golek kepenake dhewe itu dilakukan oleh orang-orang tertentu, bahkan dilakukan oleh orang “miskin” karena kepingin segera kaya? Terbukti tidak. Justru akhir-akhir ini semakin kelihatan betapa orang-orang pinter, orang-orang penting karena jabatannya, orang-orang kaya, malahan banyak yang berlomba-lomba memanfaatkan segala kesempatan demi keuntungan dirinya sendiri. Pertanyaannya, mengapa terjadi seperti itu?

Orang pinter, orang kaya, orang berkedudukan, ada saja yang cenderung golek kepenake dhewe  karena merasa sebagai  pemenuhan tuntutan zaman; selalu merasa tidak terpuaskan: Yang pinter masih kepingin minteri, masih belum puas jika belum berhasil “memanfaatkan” apa pun dan siapa pun untuk menjadikan dirinya sendiri semakin pinter dengan cara sakepenake dhewe. Golek kepenake dhewe, yakni mencari enak sendiri seolah-olah menjadi tuntutan zaman baginya. Dunia segera kiamat jika sip inter itu tidak minteri.

Lebih fenomenal dari wong pinter, dampak orang kaya mung golek kepenake dhewe, hanya cari enaknya sendiri, sangatlah terasa apalagi di tengah kondisi seperti sekarang ini. Bukti paling nyata ialah, sampai-sampai seorang kepala negara, dan selanjutnya ditegaskan oleh pimpinan instansi itu, mengingatkan agar sugih ya sugih, nanging mbok aja pamer, kalau Anda kaya, ya silakan saja, namun janganlah pamer, janganlah hedonis.

Ungkapan yang dipakai oleh pimpinan instansi itu, ialah: Mungkin Anda memilik warisan sehingga kaya raya; namun tampillah wajar-wajar saja. Rupanya beliau mau mengatakan, aja kaya setan nunggang gajah.

Harus Sekarang

Karena merasa sebagai tuntutan zaman, maka wong pinter sing minteri, orang-orang pandai yang seenak sendiri bergaya paling pinter; dan juga wong sugih pamer kasugihane, orang kaya justru semakin bergaya hedonis, merasa semua itu harus dilakukan/terjadi sekarang ini juga, tidak dapat ditunda-tunda.

Setan nunggang gajah kudu klakon saiki uga, bergaya seenaknya demi mencari keuntungan dan kenyamanan diri harus dan harus saat ini juga. Justru ketika menjabat saat inilah  “Aku kudu pamer,” kira-kira begitu dorongan hati orang-orang itu. Kalau pamernya kelak setelah pensiun, wah … terlambat;  maka kudu saiki mumpung isih menjabat.

Baca Juga: Panggung Kehidupan Tidak Tulus: Ada Saja Orang Kena Apes, Apus, amargo Apirowang

Paribasan setan nunggang gajah, jika dirunut mula bukane, semacam dicari asal usulnya mengapa ungkapannya seperti itu, agaknya ingin menyangatkan betapa perilaku sakepenake dhewe kanggo keuntungane dhewe  itu adalah khas perilaku setan. Tidak tanggung-tanggung, yang dikendarai atau dinaiki pun gajah, bukan kerbau, bukan pula sapi, apalagi mung wedus, apalagi kambing.

Peribahasa senantiasa mengungkapkan dengan cara menyangatkan, tetapi mungkin juga menyindir secara halus, mengajarkan dan mengajak untuk melakukannya atau sebaliknya untuk menghindari.

Dalam paribasan setan nunggang gajah ini ajaran leluhur kita rupanya lebih mengutamakan mengingatkan lewat sindiran: “Mosok kepingin kaya setan nunggang gajah,” kepingin seperti setan naik gajah, nih ye?

Jika sindiran (halus) seperti itu tidak berdampak baik, maksudnya yang bersangkutan berubah sikap dan perilakunya menjadi lebih baik, leluhur pastilah “meratap” mengapa warisan budaya luhurku dicampakkan begitu saja justru oleh orang-orang yang seharusnya memeliharanya? Duh…anak keturunanku, mengapa kau kalahkan dirimu dengan setan?

(JC Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Universitas Katolik (UNIKA) Soegijapranata, Semarang)