Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga
Suatu hari, seorang teman bertanya kepadaku: “Man, tujuh dari ijazah-ijazahmu itu apakah asli semua? Jangan-jangan ada yang palsu?”
Atas pertanyaan itu tidak ada rasa terperanjat, tetapi menggelitik saya untuk lalu bandhing-bandhingke antar ijazah SR, SMP, SGA, Sarjana Muda, Sarjana, Magister, dan Ph.D. Hasil bandhingke itu mendorong saya sampai pada kesimpulan: Jebul ora padha, ternyata tidak sama. Blaik !!
Dalam ijazah SR ku (maksudnya sekolah rakyat, lalu berubah menjadi sekolah dasar) tahun 1960, tertera nama Toekiman, namun dalam ijazah SMP, tahun 1963, tertulis nama Tukiman.
Beda kan Toekiman dan Tukiman, namun kedua ijazah saya itu sah, asli, murni, tulen; dan pasti bukan palsu sebab terbukti saya diterima di bangku sekolah guru atas (SGA, yang tidak lama kemudian berubah menjadi SPG, Sekolah Pendidikan guru). Di SGA itu, nama saya di ijazah (tahun 1967) “bertambah” menjadi J.C. Tukiman, sebuah nama baptis (permandian) Johanes Chrysostomus).
Di bangku SGA inilah sebagian dari teman-temanku “menambah” namanya: Semula Wagino, lalu ditambah menjadi Hery Wagino dan sejak itu dia berharap dipanggil Hery, bukan lagi Wage atau Gino.
Ada juga semula namanya, Walidjo (berasal dari lor kali Opak, Bantul), lalu berubah menjadi sangat keren Bambang Guntur Walidjo, berhubung ia pinter sekali smash, menggeledek bagaikan guntur kerasnya dalam permainan volleynya.
Tegasnya, saat itu sangatlah umum orang menambah atau mengganti nama, dan sah-sah saja lalu tertulis di ijazah. Nama dapat berubah, apalagi tempat atau pun tanggal lahir. Kakak saya nomor enam, pensiunnya justru lebih dulu tiga tahun dari kakak nomor lima.
Baca Juga: Panggung Kehidupan Tidak Tulus: Ada Saja Orang Kena Apes, Apus, amargo Apirowang
Mengapa? Ketika menulis lamaran kerja, ia menuakan umurnya (berarti mengubah tanggal dan tahun lahir), dan ternyata diterima bekerja di suatu departemen sebagai pegawai negeri. Piye jal?
Trend mengubah atau menambah nama, masih juga terjadi di bangku perguruan tinggi. Sejak tahun 1972, namaku menjadi panjang-lebar luas dan dalam, yakni: J.C. Tukiman Tarunasayoga.
Nama inilah yang tertulis di ijazah sarjana muda, sarjana, magister, dan Ph.D; namun justru di KTP, nama yang tertulis secara resmi (dan sah) sampai sekarang Tukiman Tarunasayoga. Nama depan J.C. hilang gara-gara sekretaris RT saya, pada awal tahun 1998, ketika menulis surat pengantar ke RW dan Kelurahan, hanya menulis Tukiman Tarunasayoga, tanpa menuliskan J.C. dengan alasan terlalu panjang (kekurangan kolom). Nah, sejak itu, jadilah nama di KTP tidak sama dengan di ijazah. Blaik… lagi.
Melacak Asli atau Palsu
Bagi orang-orang mulai “generasi 90-an,” -apalagi generasi 2000-an seterusnya- , cerita saya di atas mungkin ditertawakan seraya terheran-heran “Kok isa ngono?” Dan, sangat bisa jadi, orang-orang yang memperkarakan asli atau palsu ijazah seseorang yang dewasa ini telah berusia di atas 55 tahun (apalagi bagi mereka yang di atas 65 tahun), kurang mampu memahami benar-benar kondisi saat itu.
Seperti yang terjadi pada diri saya, misalnya hanya menggantungkan atau semata-mata mengaitkannya dengan apa yang tertulis di KTP-ku, semua dari tujuh ijazah saya itu dikategorikan palsu, karena tidak ada satu pun dari nama yang tertera di ijazah ada kecocokan dengan nama di KTP.
Blaik ora, jal? Pertanyaan di judul tulisan ini, “Man, ijazahmu asli, tulen, murni apa palsu?” saya jawab pongah sekarang: “Karepmu piye?”
Tembung asli, tulen, lan murni perlu kita cermati secara pas agar nanti menjadi jelas apa yang dimaksud dengan kata palsu itu. Asli itu mengandung dua makna; pertama, asal kang kawitan dedunung, dan kedua, asal, kang nurunake.
Baca Juga: Tragedi Kanjuruhan, Fakta-fakta Wong Klenger, Kesengsem, Keladuk, lan Wuru
Arti pertama menyatakan bahwa asli itu berkaitan dengan asal tempat tinggal, sedang arti kedua asli berkaitan dengan asal atas dasar garis keturunan. Jika ada orang bertanya, Pak Tukiman Tarunasayoga asli mana; pertanyaan itu pasti berkaitan dengan asal atau tempat tinggal atau tanah kelahiran saya, yaitu Bantul.
Berkiitan dengan ijazah, asli atau tidaknya tentu terkait dengan ijazah itu dikeluarkan oleh Lembaga mana/apa, yakni asal atas dasar garis keturunan. Maka, ijazah itu asli atau palsu harus dilacak dari sumber utama yang “menurunkan” atau yang membuat dan mengeluarkan ijazah itu. Lucu kalau membuktikan asli atau palsu kok yang sibuk-sibuk membuktikan justru Lembaga yang bukan membuat.
Adapun kata palsu, diartikan secara negasi yaitu dudu sing tulen (tumrap dhuwit, dan dalam hal ini ijazah), sementara arti tulen sendiri berarti murni, ora kecampuran liyane; dan arti tembung murni, yaiku tulen, resik, tanpa ana campurane. Nah ……….. kaitan asli, murni lan tulen secara berbarengan harus dikontraskan dengan palsu, sehingga arti palsu menjadi terang benderang.
Simpulannya, jika atas dasar cerita saya tadi lalu ada pihak yang mengatakan ijazah saya palsu, yah… saya terima saja seraya senyum-senyum simpul sambil berucap: “Belum tahu, dia!!” Dan misalnya ada pihak yang kemudian memperkarakan, saya merasa tersanjung karena ada orang/pihak begitu besar perhatiannya kepada diriku. Dan pertanyaan: “Man, ijazahmu asli, tulen, murni atau palsu, sih? saya jawab: Pirsanana dhewe, ya, lihatlah sendiri ke rumah saya, he..he..he…
(JC Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Universitas Katolik (UNIKA) Soegijapranata, Semarang)