Etika jurnalistik secara transformatif  harus mengalir sebagai nilai-nilai dalam praktik berjurnalistik dan bermedia. Praktik yang sekarang kita rasakan marak seperti intensi pelanggaran nilai kebhinekaan, kemasabodohan dalam merawat suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dapat kita amati sebagai pengabaian terhadap etika jurnalistik.

Segi-segi inilah yang idealnya melekat sebagai kesiapan profesional seorang wartawan, dan inilah yang seharusnya mengalir dalam A – Z mekanisme SKW.

Intelektualitas

Saya menekankan diksi “intelektualitas” untuk menggambarkan betapa penting sikap ini dalam melandasi kecerdasan etis berjurnalistik.

Aksen intelektualitas ini tentu bukan dalam pemahaman dunia akademik, melainkan kecerdasan untuk memilih di antara dilematika yang biasa kita hadapi dalam berbagai bidang kehidupan. Bukankah pengambilan keputusan dalam menyikapi pilihan selalu kita hadapi ketika menulis dan mengunggah berita?

Maka sangatlah mengena apa yang disampaikan oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dalam pembukaan UKW Angkatan Ke-35 PWI Jateng, 24 Agustus 2022 lalu. Ganjar menekankan, wartawanlah yang sesungguhnya memberi warna seperti apa rumah bernama Indonesia.

“Memberi warna” adalah sebuah pilihan di tengah berbagai kemungkinan sikap dan arah. Ada faktor etika dan regulasi yang membedakan produk wartawan dengan informasi-informasi media sosial.

Jika wartawan tidak punya intelektualitas, tak punya kecerdasan etika, cukupkah kompetensi teknisnya menjadi pemandu untuk menyampaikan kebenaran, keadilan, dan nilai-nilai kemanusiaan?

Dalam posisi ini, ketika wartawan tidak punya respek kepada diri sendiri dan profesinya, bagaimana mungkin dia berharap untuk mendapat respek dari stakeholder dalam ekosistem tugas dan fungsinya?

— Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah.