blank
Pelaksanaan UKW tak selalu di ruangan hotel, tetapi juga bisa di ruang semiterbuka, seperti di Balkondes Ngargogondo, Borobudur. Foto: Widiyartono R.

Bagi wartawan, kompetensi adalah mahkota. Kemartabatan itu tidak hanya merupakan pengakuan terhadap eksistensi personal, tetapi juga kehormatan media, dan marwah organisasi profesinya.

Menggelar UKW, yang biasa dilakukan oleh organisasi profesi kewartawanan seperti PWI, ibarat “panggilan cinta” pengurus organisasi profesi itu untuk anggota-anggotanya. Ada tanggung jawab profesi yang melekat di dalam program uji kapasitas kesumberdayaan tersebut, yang idealnya juga merupakan ungkapan “kerja kolaboratis” antara organisasi dengan media tempat wartawan itu bekerja.

Memfasilitasi penyelenggaraan SKW patut dijadikan “program mahkota”, karena produk dari kegiatan itu akan memberi efek respektif.

Wartawan membangun respek untuk dirinya dengan unjuk kompetensi profesi. Pada sisi lain, stakeholders yang berelasi dengan wartawan tersebut akan menaruh respek, karena merasa berhadapan dengan sosok yang profesional. Profesional dapat dimaknai pula sebagai “bertanggung jawab”. Tentu bakal berkembang perasaan “nyaman” dan “aman”, karena yang berhubungan dengan dia bukan wartawan yang “meragukan”.

Atmosfer kesalingrespekan itu, secara lebih jauh akan membentuk sikap para pemangku kepentingan untuk menghargai profesi wartawan, memahami tugas dan perannya. Sebaliknya, wartawan menghayati tugas, peran, dan profesinya dalam atmosfer intelektualitas dan kecerdasan etis dalam menjaga nilai-nilai keadilan, kebenaran, keberagaman, dan kemanusiaan.

Wacana tentang “profesional” dan “meragukan” itu sejauh ini masih menjadi warna dalam praktik dunia kewartawanan dan media kita. Sebagian di antara jawabannya tersubstansi dalam komitmen SKW.