blank
Son Heung-min. Foto: dok/spurs

blankOleh: Amir Machmud NS

// dia berjaya/ bukan pada waktunya/ dia tembus jagat raya/ justru ketika ada yang menguasai semesta//
(Sajak “Kisah Son dan Mo Salah”, 2022).

TERKADANG, begitulah hidup dan kehidupan berbicara…

Anda, termasuk saya, tentulah tak pernah meragukan, betapa Son Heung-min dan Mohamed Salah adalah dua tokoh besar yang memperkuat lembar referensi tentang kisah “raja tak bermahkota”.

Dalam narasi repeksi, keduanya adalah manusia langka yang berkeunggulan nyata, punya kemampuan tak kalah dari “raja yang formal diakui”.

Sudah untuk kali yang kesekian saya menulis, andai Son Heung-min tidak “meledak” pada era ketika dua maharaja — Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo — berkuasa, tak ada yang ragu dia bakal menjadi pemain Asia pertama yang layak dinominasikan meraih trofi Ballon d’Or.

Mohamed Salah pun serupa. Predikat “Messi dari Mesir” menguatkan pengakuan mediatika: apa yang Lionel Messi bisa, Mo Salah pun mampu.

Dua jagoan itu mengorbit dengan tingkat kekhususan, walaupun sepak bola pada rentang waktu yang sama juga punya sebarisan elite, dari Robert Lewandowski, Neymar Junior, Sadio Mane, N’Golo Kante, Karim Benzema, Erling Haaland, hingga Kylian Mbappe.

Pun, ada nama Kevin de Bruyne, playmaker Manchester City yang diakui sebagai jagoan assist Eropa. Tentu harus pula disebut Kylian Mbappe, figur terdekat dengan predikat “putra mahkota” bagi Messi dan Ronaldo.

Pujian Total Conte
Ketika Antonio Conte, pelatih Tottenham Hotspur memuji total Son Heung-min, itulah momen pengakuan yang memperlihatkan “maqam” striker nomor 7 tersebut.

Tak hanya menyebut Sonny sebagai figur penting tim, Conte juga memujinya sebagai pemain yang berkepribadian, baik di dalam maupun di luar lapangan.

Anda simakkah dua golnya ke gawang Leicester City di Liga Primer, pekan kemarin?

Brace itu menggambarkan produk kompetensi seorang pemain kelas dunia. Visi, skill olah bola, dan feeling presisi. Pemain asal Korea Selatan itu bagai tak hanya mengandalkan indera mata dan sensitivitas bola. Dua gol itu dia tampak merupakan produk ketajaman “mata batin”.

Dan, andai para pandit, dan pemberi suara yang menentukan perolehan voting Ballon d’Or menghitung kemampuan plus para bintang, yakni skill eksepsional seperti gol solo run, tak sekali dua pula Son melakukannya.

Media pernah menyebut dia “Sonaldo”, sebagai analogi kemampuan solo run goal yang melekat dalam diri “Sang Fenomenal” Ronaldo Luis Nazario pada masa emasnya.

Gol solo yang dia lesakkan ke gawang Burnley pada 2020 bahkan terabadikan dengan Puskas Award. Pengakuan sebagai gol terbaik dunia pada tahun itu!

Kurang kompletkah Son Heung-min?

Dia hadir dari benua yang tak terlalu diperhitungkan dalam sepak bola, dibandingkan dengan superioritas Eropa dan Amerika Latin. Positioning asal usul itu sama dengan Mohamed Salah, pemain asal Mesir yang sejak 2017 menjadi tumpuan gol Liverpool.

Mo Salah, dalam garis nasib yang sama, berada dalam rentang puncak yang “keliru”, karena faktor kejayaan Messi dan Ronaldo.

Seperti Son Heung-min, Salah juga bintang dengan kompetensi yang “kaffah”. Bahkan lebih baik dibandingkan dengan Son dalam hal raihan trofi Liga Primer, Liga Champions, dan Piala Dunia Antarklub.

Salah sering mencatat aksi-aksi teknis individu sekelas Messi dan Ronaldo. Klasifikasi “tempat” di orbit elite sebenarnya memang tak jauh-jauh amat. Sekali lagi, Mo Salah hanya berada di waktu yang tidak pas.

Musim Benzema
Bakal selamanyakah Son dan Salah menjadi “raja tanpa mahkota”?

Kompetensinya diakui secara “kultural”, tetapi tidak dalam kapasitas “struktural” atau “formal”. Namun yakinilah, status kelegendaan tak akan mengurangi memori dalam historika sepak bola, sampai kapan pun.

Musim ini orang lebih banyak membicarakan nama Karim Benzema untuk prospek anugerah individual tertinggi itu. Performa dan konsistensi produktivitas Benz sebagai faktor pembeda Real Madrid menjadi alasan kuat untuk mengunggulkan pemain Prancis berdarah Aljazair itu. Agaknya, final Liga Champions musim ini – Liverpool vs Real Marid — boleh jadi akan menjadi parameter: siapa yang lebih layak mendapat apresiasi formal: Salah atau Benzema.

Akankah terjadi, seelok apa pun aksi-aksi dan gol Sonaldo, atau kedahsyatan Mo Salah, selamanya harus puas teranugerahi predikat “informal king”?

Seperti inikah ungkapan realitas rasa keadilan dalam sepak bola?

Terkadang begitulah hidup dan kehidupan berbicara…

Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, kolumnis sepak bola, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah