blank
Empat pemain naturalisasi Timnas Indonesia, Nathan Tjoe-A-On (6), Justin Hubner (23), dan Ragnar Oratmangoen (11) dan Thom Haye (19). Foto: afc

blankOleh: Amir Machmud NS

// nikmatilah bahasa universal sepak bola/ anak-anak bangsa melebur tanpa sekat jiwa/ mereka tanamkan etos garuda di dada/ menepiskan primordi lokal dan manca…//
(Sajak “Bahasa Sepak Bola”, 2024)

SEPERASAAN saya, belum pernah saya menikmati permainan tim nasional sepak bola kita yang seimajinatif dan sesolid pertunjukan di Stadion My Dinh, Hanoi, 26 Maret kemarin.

Dari determinasi, konfidensi, kemantapan transisi, kreativitas, kecepatan pengambilan keputusan, hingga pemanfaatan peluang.

Bukan hanya lantaran Asnawi Mangkualam dkk menang atas Vietnam di kandangnya untuk menyamai catatan 20 tahun silam, lebih dari itu orkestrasi permainan anak-anak Garuda memang terasa mantap.

Membanggakan, itu pasti.

Apakah karena ketepatan Jay Idzes cs menerjemahkan skema taktik yang dirancang oleh pelatih Shin Tae-yong?

Apakah karena tuan rumah Vietnam sudah terlebih dahulu “kena mental” setelah kekalahan 0-1 di Jakarta, 21 Maret lalu?

Atau inikah sesungguhnya “pertunjukan” dari berkah kebijakan menggunakan materi pemain naturalisasi?

Semua konsiderans itu bisa saja benar; namun kemajuan performa Indonesia memang sangat terasa dalam dua laga terakhir Pra-Piala Dunia, setelah sebelumnya tampil menjanjikan dalam putaran final Piala Asia 2023 di Qatar.

Proses cepat adaptasi para pemain baru naturalisasi terbilang luar biasa. Jay Idzes dan Nathan Tjoe-A-On tak canggung sejak debut di leg pertama di Senayan, sementara Thom Haye dan Ragnar Oratmangoen langsung “tune in” dengan memberi kontribusi besar bagi kemenangan 3-0 di Hanoi.

Thom dengan assist tendangan penjuru yang disambar oleh tandukan Jay Idzes, sedangkan Ragnar menyumbang gol lewat aksi individu ciamik sebelum membobol gawang Filip Nguyen.

Soliditas Tim
Bukan hanya kecepatan “melebur” ke dalam adonan jiwa tim, spirit, dan kontribusi pemenangan, keempat pemain yang baru saja mendapat kewarganegaraan Indonesia itu juga tampak menerjemahkan bahasa universal sepak bola dengan sangat baik.

Apa pun sorotan yang masih juga tersampaikan dalam aneka pemberitaan media, kemeleburan para pemain keturunan itu memberi pesan tentang sisi lain semangat kebangsaan. Itulah nasionalisme sepak bola lewat bahasa khasnya!

Bukankah terbukti Mark Klok, Justin Hubner, Jay Idzes, Nathan, Ivar Jenner, dan para pemain lainnya telah membuncahkan harapan, kegembiraan, dan kebanggaan bagi sepak bola Indonesia?

Bukankah penampilan mereka pun akhirnya memberi “vitamin” yang “menggeret” para pemain produk kompetisi liga lokal ke arah level yang memacu?

Dari kacamata subjektif saya, bakat-bakat muda Marselino Ferdinand, Witan Sulaeman, Egy Maulana Vikri, Jacob Sayuri, Rizky Ridho, Edo Febriansyah, Ramadhan Sananta, dan yang lain, “tergeret” ke level performa rekan-rekan naturalisasinya. Talenta mereka tak kalah, namun Jay Idzes cs lebih beruntung tertempa oleh kualitas liga tempat mereka bermain.

Bahasa Pesan
Bahasa universal yang membantu percepatan peleburan para pemain keturunan ke orkestrasi timnas itu, pada akhirnya efektif menyampaikan pesan dan nilai-nilai.

Pertama, proyek naturalisasi tak harus disikapi secara negatif sebagai pilihan jalan pintas pragmatis, karena pada sisi lain memberi nilai lain dalam idealisme pengembangan sepak bola nasional.

Kedua, para pemain muda — termasuk yang dipanggil ke timnas — akan terpacu untuk meraih level lebih tinggi agar bisa mendapat tempat dalam starter timnas.

Ketiga, manajemen kompetisi liga mesti tergugah untuk menjadi lebih baik agar melahirkan produk-produk berkualitas, termasuk terangkat secara publisitas ke peminatan klub-klub asing dengan level liga yang lebih baik.

Keempat, intensitas pemantauan talenta ke wilayah-wilayah yang punya potensi “bakat alam” seperti Papua dan Maluku perlu ditingkatkan, seperti pemaksimalan jaringan informasi yang selama ini dimanfaatkan oleh coach Indra Sjafri.

Akhirul-kalam, dari orkestrasi solid timnas secara bertahap ini, rasa-rasanya dorongan bagi perpanjangan kontrak pelatih STY merupakan ide yang masuk akal. Pelatih yang pernah membawa Korea Selatan menundukkan Jerman 2-0 di Piala Dunia 2018 itu, konsisten dalam pembentukan budaya disiplin dan karakter pesepak bola.

Dan, dengan segala plus-minusnya, terbukti kita punya potensi untuk dikembangkan, baik lewat “kebanggaan lokal” maupun “kebanggaan darah keturunan”…

Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah