blank
Juergen Klopp dan Pep Guardiola. Foto: dok/uefa.tv

blankOleh: Amir Machmud NS

// sepak bola seperti kopi/ dia menyatukan mimpi/ merakit apa pun sekat/ siapa pula yang mampu mengikat/ yang tak hanya memperlakukannya sebagai sepak bola/ maka bacalah/ dan kau akan menemukannya/: ideologi para empu sepak bola//
(Sajak “Sang Ideolog”, 2022)

SIAPAKAH ideolog sejati sepak bola saat ini: Josep “Pep” Guardiola i Sala-kah, atau Juergen Norbert “Kloppo” Klopp?

Kutub sikap itu mewakili “entitas ideologi” bernama Manchester City, dan “kanal filosofi” dalam wujud Liverpool.

Jika Anda menyimak semifinal leg pertama Liga Champions di Stadion Etihad, Rabu dinihari lalu, dan di Stadion Anfield Kamis dinihari kemarin, penghayatan kesepakbolaan Anda pasti merasakan “rasa” yang berbeda.

Manchester City mengalahkan Real Madrid 4-3, dan Liverpool menundukkan Villarreal 2-0. Hasil ini membuka peluang “Final Sesama Liga Primer” yang berkonotasi “pertarungan sepak bola ideologis” antar dua pelatih dengan filosofi dan konsep taktik kuat.

Namun semifinal belum selesai. Masih ada leg kedua yang akan berlangsung di kandang Madrid dan Villarreal, 4 dan 5 Mei nanti. Selain final impian Liverpool vs City, permutasi dari hasil semifinal masih membuka kemungkinan final Liverpool vs Madrid, Villarreal vs City, atau Villarreal vs Madrid.

Artinya, peluang “Final Sesama La Liga” pun masih terbuka.

Dengan label partai pemuncak, tidak satu pun di antara empat permutasi itu yang tergambarkan tidak seru. Semua menyimpan potensi kedahsyatan, walaupun dua proyeksi final sesama liga itu sudah sering berlangsung di internal kompetisi mereka.

Di panggung yang lebih besar, tentu saja ada nilai-nilai pembeda yang lain. Apresiasi subjektif saya, misalnya, memosisikan final “ideologi sepak bola” Liverpool vs Manchester City menjanjikan elemen tontonan sangat lengkap. Andai final itu yang tersaji, inilah ungkapan filosofisnya: “Jalan Pep”-kah atau “jalan Klopp” yang bakal menemukan “kebenaran”.

Tanpa mengurangi bobot kemungkinan lainnya, duel Liverpool vs Real Madrid mengetengahkan parade gemerlap kemampuan individu. Taktik Klopp vs performa Ancelotti menjadi nuansa tersendiri, di luar show teknis yang di-etalase-kan kedua kubu.

Pun, salah besar bila kita mengabaikan Villarreal. Unai Emery adalah spesialis Liga Europa. Posisi kuda hitam bisa membawa The Yellow Submarine bermain tanpa beban apa pun.

Emery adalah “raja”. Tiga trofi Liga Europa dalam tiga musim berurutan (2014-2016) dipersembahkan untuk Sevilla. Musim lalu dia mengantar Villarreal meraihnya. Pada 2019, Arsenal dia bawa menjadi runner up. Pria Spanyol itu tentu punya mimpi merambah kelas Liga Champions.

Gegenpressing Vs Tiki-Taka
Dalam empat musim terakhir Liga Primer, Liverpool dan Manchester City menyuguhkan konsistensi performa dengan pakem yang tidak dimiliki klub lainnya.

Representasi keunggulan karakter itu memancar lewat gegenpressing-nya Klopp dan tiki-taka sebagai “label Pep”. The Reds dan The Citizens membahasakan filosofi itu sebagai “wajah” mereka.

Kita selalu menyaksikan permainan pressing tinggi Liverpool dan kerancakan possession football City sebagai standar yang telah melekat sebagai brand.

Orkestrasi permainan bertekanan tinggi itu diaktori oleh para penggawa yang melebur dalam jiwa Anfield Gang. Klopp memiliki pemain-pemain yang cocok menerjemahkan filosofi gegenpressing itu di setiap posisi.

Adapun Manchester Biru, di bawah Pep Guardiola menjelma menjadi tim eksotik. Kelas keindahan sepak bola menyerang City memang masih di bawah Barcelona pada masa jayanya, 2007-2017, namun Pasukan Etihad memiliki “wajah” dan soliditas serupa, baik dalam kerancakan, posesivitas, maupun ofensivitas.

Jika duel kedua klub diurai per posisi, akan memperlihatkan detail deret pemain hebat.

Dari Liverpool nikmatilah ketangguhan kiper Alisson Becker, benteng visioner Virgil van Dijk, Trent Alexander-Arnold yang hiperaktif menyumbang umpan silang dan assist, kepemimpinan kuat Jordan Henderson, Thiago Alcantara sang fantasista, lalu duet Mohamed Salah dan Sadio Mane yang selalu menghantui lawan, selain Luis Diaz, Diogo Jota dan Takumi Minamino sebagai super-sub.

City tak kalah keren. Kompatriot Alisson, yakni Ederson Moraes adalah kiper – libero yang pas menerjemahkan kebutuhan taktik Pep.

Formasi hebat City bertabur “cahaya” Ruben Diaz, Aymeric Laporte, Ilkay Gundogan, Bernardo Silva, Kevin de Bruyne, Jack Grealish, Phil Foden, Riyad Mahrez, juga Gabriel Jesus untuk menyebut sebagian di antara deret bintang Etihad.

Elemen-elemen pressing, eksotika, dan kelengkapan bintang inilah yang menggaransi kedahsyatan pertemuan kedua pasukan.

Liverpool Vs Madrid
Secara filosofis, Carlo Ancelotti tidak dipercaturkan seramai Klopp dan Pep, namun Real Madrid punya kekuatan sejarah di ajang ini.

Sebagai pengoleksi terbanyak trofi Liga Champions, 13 kali juara (Liverpool enam trofi), Los Blancos paham harus melakukan apa setiap kali tiba di partai puncak.

Pertemuan dengan Liverpool bakal menyajikan parade bintang. Madrid punya berderet pemain yang aksi-aksinya ditunggu, dari Thibaut Courtois, Toni Kroos, Rodrygo Goes, Ferland Mendy, Vinicius Junior, Luka Modric, Eduardo Camavinga, hingga striker Karim Benzema yang menggila menjelang senja.

Dari gambaran-gambaran itu, permutasi final seperti apa pun bakal menggaransi duel filosofi dan ideologi sepak bola. Inilah ruang penegasan eksistensi. Termasuk bagi Don Carlo dan “Raja” Emery.

Dan, dengan kualitas parade itu, prospek kedahsyatan seperti apa lagi yang kita ragukan?

Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, kolumnis sepak bola, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah