blank
Pesta Lomban (Foto: ilustrasi)

Oleh: Aliva Rosdiana, S.S., M.Pd.

Pesta Lomban merupakan pagelaran tradisi budaya syawalan masyarakat Jepara, khususnya bagi nelayan dalam bentuk sedekah bumi. Tradisi rutin bakda kupat ini merupakan wujud syukur masyarakat Jepara atas keberlimpahan berkah baik rezeki maupun keselamatan yang telah Tuhan berikan. Selain Masyarakat Jepara, banyak masyarakat dari luar kota Jepara juga ikut menyaksikan aktivitas ini.

Tradisi turun temurun ini sudah ada sejak tahun 1868 dan ditulis dalam  Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië (TNI)  atau Jurnal Hindia Belanda dengan judul Het Pada Loemban Feest Te Japara (Kegiatan Pada Lomban di Jepara).

Dalam artikel itu menyisipkan ketupat lepat sebagai pelengkap aktivitas Lomban. Yakni sejenis makanan berisi beras dengan sedikit garam yang bukan berbentuk wajik seperti ketupat pada umumnya, namun berbentuk silinder memanjang.

BACA JUGA Kemeriahan Lomban Akan Kembali di Pekan Syawalan

Dalam jurnal ini juga menyebutkan bahwa nama Lomban hanya ada di Jepara, tidak terdengar ada di tempat lain. Sehingga pada tahun 1868 kala itu, Pesta Lomban di Jepara adalah satu-satunya pesta di pesisir pantai. Istilah Lomban sendiri bermakna saling melempar dan berenang. Arti Lomban bagi masyarakat Jepara yaitu lelumban yang berarti mandi bersenang-senang dengan saling menyiram.

Sebelum pagelaran pesta, masyarakat Jepara mulai menyiapkan perahu untuk aktivitas Lomban. Bahkan banyak perahu yang disewakan untuk kepentingan ini. Warga bergotong-royong menghiasi perahu-perahu. Rangkaian bunga pandan, kenanga, soka dan ketupat dengan saling terikat menghiasi lunas depan dan belakang.

Selanjutnya, bendera atau panji dari kain dan selendang berbagai warna menggantung di tiang kapal. Terkadang boneka turut menghiasi depan kapal. Boneka ini disebut kedawangan yang terbuat dari kedobos atau tulang daun nibung. Boreh juga turut menghiasi perahu. Boreh adalah sejenis cat yang berwarna kuning.

BACA JUGA Idul Fitri Kembali Normal Saat Sebelum Pandemi, Pesta Lomban Terbuka untuk Umum

Prosesi Pesta Lomban ini sangat memakan banyak biaya. Sehingga tak jarang warga memilih berutang pada orang Cina. Kaum perempuan tak hanya menyiapkan ketupat, juga komoditi lainnya yaitu telur itik dan kolang-kaling. Tiga komoditi ini, yaitu ketupat, telur itik, dan kolang-kaling, digunakan dalam prosesi saling melempar secara sembunyi-sembunyi. Tentu saja, mereka harus bersembunyi agar tidak terkena bau busuknya telur itik dan efek gatalnya kolang-kaling.

Pesta Lomban yang sejatinya dikhususkan bagi para nelayan Jepara juga ikut disaksikan oleh para pejabat seperti bupati dan kepala desa. Makanan yang telah disiapkan oleh para perempuan dengan berbagai lauk pauknya, dihadiahkan untuk bupati. Para kepala desa dan petinggi mengiringi bupati ke tempat permainan, mengarungi laut ke Pulau Teluk yang dihuni oleh orang Melayu Encik Lanang (TNI, 1868:87).

Bupati melaksanakan aktivitas dengan membawa 12 payung atau penyekat dari bambu yang beroda yang telah dilumuri kapur dan ditandai gambar harimau, naga, dan ikan (TNI, 1868: 87).

Pesta Lomban dilaksanakan fajar. Konon, orang meyakini bahwa siapapun yang membersihkan diri dengan mandi terlebih dahulu berarti membawa keberuntungan. Lalu, orang berpakaian rapi, serta membawa gamelan dalam perahu dengan diiringi tabuh giro, siap menyusuri sungai Jepara menuju laut. Menjelang pukul 8, warga siap menaiki kapal.

Perjalanan mereka lalui di atas air menuju Pulau Panjang dan Pulau Tengah. Sepanjang perjalanan, mereka saling lempar ketupat, telur dan kolang-kaling dengan candaan, saling mengejar, dan saling mengancam. Mereka berpesta hingga perahu tiba ke Pulau Encik Lanang (Pantai Kartini).

Setibanya, para warga beramai membeli makanan para pedagang di sekitar pantai Kartini. Mereka juga berziarah ke makam Melayu di pulau itu.

Penulis adalah Dosen Unisnu sekaligus wartawan SUARABARU.ID.