blank
JC Tukiman Tarunasayoga

Oleh: JC TukimanTarunasayoga

 Topik bahasan ini berlatar belakang cara atau model laki-laki Jawa berpakaian zaman dulu (sekarang tinggal sisa-sisanya), yaitu mengenakan bebet. Bacalah bebet seperti Anda mengucapkan “buah ini rasan ya sepet,” atau “makan lepet lauk abon.”

Bebeta dalah kain yang dipakai laki-laki, berjodoh dengan baju surjan; sedang kalau dipakai oleh perempuan sering disebut tapih. Bedanya, laki-laki mengenakan bebet secara lebih sederhana dan lebih cepat dapat dilepas; sedang kalau perempuan mengenakan tapih, di pinggangnya berlilitkan setagen, jadikencengdansulitdilepaskannya.

Pertanyaannya, mengapa laki-laki (Jawa) ketika mengenakan bebet cenderung lebih mudah dan cepat dilepas atau melepaskannya, sedang perempuan sebaliknya?

Bagi laki-laki, bebet dikenakan untuk menggenapi jodohnya surjan sebagaimana telah dikatakan di atas, dan umumnya orang itu mengenakan celana kolor di dalamnya. Jadi, sebutlah bebet itu asesoris pemanis dan pelengkap berpakaian.

Sedangkan tapih, dikenakan oleh perempuan sebagai bagian penting ngadi sarira, yaitu macak, berdandan dan bersolek; karena itu harus diupayakan secantik mungkin, baik tapihannya maupun dandanan lainnya.

Baca Juga: Nangguh Lan Golek(i)

Laki-laki identik dengan “siap siaga menjaga keamanan, ”oleh karena itu cara atau model berpakaian pun tetap harus selaras dengan tugas utamanya itu. Intinya, meskipun sedang bebetan, kalau ada marabahaya mengancam, ia harus secara sigap mengambil langkah pengamanan.

Itulah mengapa, ketika memakai bebet harus cepat bias dilepas. Ketika bebet dilepas karena harus bertindak sesuatu, kain atau jarit itu diikatkan di pinggang; dan itulah yang secara harafiah dimaksudkan dengan cancut taliwanda.

Artinya, kain itu dilepas lalu diikatkan di pinggang, dan orang itu siap melakukan kegiatan tertentu sesuai dengan kebutuhan mendesak saat itu.

Jadi, makna cancut taliwanda  ialah menyingsingkan lengan baju seraya menyatukan segala kekuatan untuk menyelesaikan  atau menghadapi permasalahan yang sangat mendesak untuk segera diselesaikan.

Contoh konkretnya, saat ini Pemerintah benar-benar cancut taliwanda menghadapi wabah Covid19; segala daya upaya, kekuatan, strategi da napa pun dipertaruhkan dengan satu tekad utama, yakni agar Covid19 segera berakhir.

Mengapa harus cancut taliwanda? Disamping karena masalah yang dihadapi membahayakan, cancut taliwanda harus dilakukan karena “tidak ada orang lain lagi” yang akan (berani) menghadapi atau pun menyelesaikannya.

Tidak dapat menggantungkan penyelesaian masalah kepada siapa pun, kecuali diri kita yang memang sedang menghadapinya. Pada sisi yang lain, cancut taliwanda juga menunjukkan “lanang tenan,” dengan ciri-ciri utamanya seperti “wani tarung,”  cepat bertindak, cepat berkeputusan, dan tentu saja bertanggun gjawab.

Siapa harus cancut taliwanda? Idealnya semua dan siapa saja yang sedang menghadapi masalah yang segera harus diselesaikan. Dalam konteks Covid-19 saat ini, sejatinya tidak ada satu pun pihak yang hanya menunggu dan berpangku tangan. Artinya, siapa saja dan apa pun posisi serta jabatannya, dia (mereka) harus cancut taliwanda menghadapi Covid-19.  Rak nggih ngaten to??

(JC Tukiman Tarunasayoga, Pengamat Kemasyarakatan)