Pertemuan trah berlangsung pada masa Lebaran. Keluarga dari berbagai daerah yang jumlahnya sampai ratusan berkumpul. Setelah lebaran usai, desa kembali sepi. Foto: R. Widiyartono

Oleh Marjono

SETURUT berakhirnya masa mudik lebaran tahun ini, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) memperkirakan, jumlah pemudik Lebaran tahun 2024 lebih dari 190 juta orang (rri.id, 30/3/2024).

Maka, tempo sekarang secara berangsur para perantau memasuki arus balik ke kota besar, utamanya Jakarta. Berdasarkan Survei Potensi Pergerakan Masyarakat Pada Masa Lebaran Tahun 2024 yang dirilis di laman Kemenhub RI, puncak arus balik lebaran 2024 diprediksi terjadi pada tanggal 14 April 2024 atau H+4 Lebaran. Pada puncak arus balik tersebut diperkirakan sebanyak 40,99 juta orang atau sekitar 21,16% dari total pemudik akan kembali ke kota masing-masing (detik.com, 10/4/2024).

Perjuangan setahun telah dibayar lunas dengan sungkem nyata maupun lewat dunia maya. Suntikan doa dan emosional telah dikantonginya sebagai bekal mencari nafkah ke kota.

Ora tega larane ora tego patine (tak sampai hati sakitnya, tak sampai hati meninggalnya), begitulah masyarakat tak sampai hati kala menyaksikan keluarga, saudara, sahabat di kampungnya hidup berkesusahan.

Maka kemudian perantau yang telah mapan di kota ini memainkan peran menggaet kawan-kawannya yang mau mewakafkan dirinya membanting tulang di kota.

Mungkin pada taraf awal asal bekerja, mereka ini berpindah ke kota, jalan pikirannya sederhana saja. Sekurangnya tidak merepotkan keluarga apalagi menjadi parasit desa. Soalan ini dilematis juga. Di ujung yang satu, problema urbanisasi bakal jadi masalah baru bagi kota, tapi uluran ini turut menyelamatkan mereka dari gelombang pengangguran.

Di bagian lainnya, kita akui, dana desa yang berbaris di desa lebih dari cukup, tapi nampaknya belum cukup kuat menampung keluh kesah warga dalam memenuhi kebutuhannya, terutama dalam menyediakan lapangan kerja. Proyek padat karya pun belum sepenuhnya mampu menopangnya. Maka menajemennya ke depan perlu pembaruan yang lebih atraktif bagi warga desa.

Jika boyongan ke kota tak dapat ditolak atau dicegah, maka romantisme desa mesti dibungkusnya rapat-rapat untuk memenangkan pertarungan hidup di kota.

Mereka pun sadar-sesadar-sadarnya, tanpa menggenggam ketrampilan yang memadai bukan tak mustahil akan tergilas di kota. Hanya bermodal otot kawat balung wesi rupanya harus bersaing dengan pengap, banal dan holigannya kota.

Di ceruk kehidupan baru kota, perantau pemula ini pun mesti waspada jangan sampai terpapar dengan model bisnis underground yang berhitung dan berkisah enaknya saja, jalan pintas dan serba cepat menghasilkan rupiah menafikan segenap risiko.

Bandar, kurir, pelaku narkoba, melakukan tindak kekerasan, memperdagangkan orang, menipu, merampok atau tindak kriminal lainnya selalu menganga dan mengintai selebar-lebarnya. Itulah kemudian, membentengi diri dengan nilai religi dan pandai memilah relasi menjadi amunisi untuk bisa survive di kota.

Empati dan solidaritas pun harus dipertanyakan kembali. Keduanya untuk siapa? Jika keduanya untuk hal-hal yang positif dan produktif, mengapa tidak. Memang komoditas itu mesti dipompa, dipupuk dan dirawat dengan baik sebagai bagian pemanusiaan dan pemartabatan kita. Masih adakah sisa lebaran di desa, kecuali desa yang sepi bahkan kesepian?

Sungguh, desa bisa saja ditimpa sepi, kala segala hiruk pikuk per-lebaran selesai dihelat. Misalnya tradisi sungkem atau ujung, yakni minta maaf kepada warga desa secara berkeliling dari rumah ke rumah atau santap makan opor ayam di genap idul fitri. Selesainya takbiran di surau desa atau nihilnya suara mercon, kembang api dan long bumbung yang acap membuat jantung berdetak kencang.

Bahkan desa bisa ditimpuk kesepian yang panjang dengan perginya para anak muda desa yang insist ke kota demi satu hal, naik kelas. Sekurangnya dari segi ekonomi. Di beberapa desa kemarin pun sewaktu arus mudik ada yang lagi, lagi dilanda sepi dan harus long distance relationship (LDR), karena salah satu pasangannya ada tugas yang tak bisa ditinggalkan apalagi digantikan.