Jauh kesepian lagi, ketika desa secara pelahan ditinggalkan para imam keluarga ke kota dan yang tertinggal hanya kaum hawa. Secara tidak langsung memberikan label sebagai kampung female, seperti di Desa Sumampir, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga (detik.com, 4/6/2023). Menyusul juga, Kampung Padukuhan di Gunungkidul, DIY, Kampung Panyarang Desa Ciburayut, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor (radarbanten, 10/5/2023).
Sejatinya desa bisa menumpas rasa sepi maupun kesepian yang hinggap dengan jalinan komunikasi yang rimbun, juga pasokan rupiah yang terus mengalir hingga ke pelosok desa. Lewat cara itu, sedikitnya bisa menekan sepi-nya desa, sebab pembangunan keluarga atau rumah tangga berjalan lancar bahkan pada cakupan yang lebih luas, yakni desa, progres dan kemakmuran wilayah tersebut juga semakin nyata.
Mesti dimulai sejak sekarang, yaitu bagaimana para perantau bahkan diaspora yang bermuasal dari desa-desa itu tak melupakan apalagi mengalami alienasi terhadap desanya sendiri.
Jangan Melempem
Jika terjadi amnesia atas desa, maka diakui atai tidak juga akan berarti putus atau tertutupnya aliran dana berbagai bantuan ke desa. Andai terus bergantung pada pasokan dana desa, CSR maupun dana lainnya tidaklah cukup.
Maka kemudian, penting bagi pemerintah desa membuat program-program yang membumi, mampu menarik kaum muda desa untuk tidak lagi terlampau dibuai mimpi-mimpi glamour kota. Bagaimana caranya? Setidaknya lewat kegiatan yang popular dan mendayagunakan kemajuan IT. Teladannya, membuka kuliner ala desa atau membuat cinderamata khas desa yang tak pernah didapatkan di pasar(an) umum.
Maka kemudian, meningkatkan kapasitas milenial desa penting dengan beragam pasokan ilmu pengetahuan, skill dan sikap yang selalu merasa memiliki desa dan karakter yang bangga atas desanya menjadi begitu bernilai di tengah gagapnya sopan santun dan absennya unggah-ungguh di negeri ini.
Melakukan penanaman lahan kosong milik desa menjadi tanah produktif dan bisa dijual ke khalayak kota di era kini juga relevan dengan kampanye pencegahan banjir, longsor, maupun bencana lainnya. Tak ada salahnya kaum muda belajar ke desa sebelah bagaimana menjadi petani milenial, membangun jejaring dan akrab dengan teknologi tepat guna.
Tak kalah penting, perlunya dibubarkan terjadinya dikotomi desa, antara senior dan yunior. Sudah saatnya kedua generasi itu golong gilig keroyokan bersama membangun desa. Membalik kemurungan desa, sehingga lebih bercahaya tak cuma di Jakarta.
Pendeknya, desa kini perlu transformer yang mampu mengubah desa lebih produktif. Maka kemudian, transformer ini mesti full daya kreasi dan inovasi untuk menggairahkan daya hidup warga desa. Transformer bisa datang dari segala penjuru mata angin : Akademisi, pendamping, motivator, pebisnis, petani milenial, pendidik, kiai, entrepreneur, pamong desa bahkan tak menutup kemungkinan para best practice lain, misalnya pemulung yang kini menjadi petani porang yang sukses, juga pemudik yang telah sukses, dll.
Akhirnya, sebagai warga desa, tidaklah berlebihan jika hari ini kita ubah dan hilangkan budaya nangkring atau mengangkat kaki ke atas kursi dan merasa paling nyaman. Karena masih banyak PR bangsa, terutama di pedesaan yang belum terselesaikan. Jangan melempem.
Marjono, Kepala UPPD/Samsat Kabupaten Tegal Jawa Tengah