blank
JC Tukiman Tarunasayoga

Oleh : JC Tukiman Tarunasayoga

Pada saat saya siapkan tulisan ini, Senin 25 Jan. pagi, data terntang Covid 19 sebagai berikut: (a) terkonfirmasi positif 989.262, (b) sembuh 798.810, (c) dalam perawatan 162.617, dan (d) meninggal 27.835. Angka itu membuktikan bahwa 88,7% orang yang kena Covid 19 sembuh, dan yang meninggal (hanya) 2,8%. Sungguh pantas dan seyogianya kita sampaikan apresiasi setinggi-tingginya kepada semua pihak atas capaian itu. Bravo.

Berkaitan dengan data dan angka, memang selalu menjadi topik perbincangan seru, dan pertanyaan yang selalu diperdebatkan ialah (i) bagaimana data dan angka itu diperoleh, (ii) apakah data dan angka itu cocok dengan realitasnya, serta (iii) apakah sumber data dan angka terpercaya. Atas tiga pokok perdebatan inilah (sudah puluhan tahun) berlangsung model data dan angka yang menggambarkan “ego sektoral” dari masing-masing instansi. Begitu “kuat” dan menggejalanya data dan angka yang sektoral itu; dalam pembicaraan sehari-hari lalu muncul semacam adagium, semisal “Datanya siapa dulu?,” atau “data untuk kepentingan apa dulu? Dan yang terasa sedikit menyakitkan ialah ungkapan ini: “Ada proyek, ada data (baru)”

Baca Juga : Gresek-gresek

Tinggalkan Nangguh

 Menangkap signal yang disampaikan oleh Menteri Kesehatan, -dan saya coba rumuskan secara sederhana- ,data dan angka tentang Covid 19 yang selama ini disampaikan terakumulasi secara nangguh; dan cara nangguh ini akan ditinggalkan, digantikan dengan data dan angka hasil tracing, sederhananya golek lan goleki.

Nangguh itu mengandung makna “memanfaatkan kesempatan yang sedang terjadi/berlangsung” atau bahasa Jawanya ngepaske, dipaske. Contohnya, kalau akan mendapatkan makan siang gratis, datanglah ke rumah teman sekitar pukul 12.00. Kalau mau nagih hutang, datanglah ke rumahnya sebelum pukul tujuh pagi karena besar peluangnya orang itu masih di rumahnya. Itulah nangguh, dan cara pengumpulan data serta angka Covid 19 selama ini  sebagian besar cenderung memanfaatkan data dan angka mereka yang memang didata di tingkat paling bawah lalu dikumpulkan ke tingkat yang lebih tinggi, sehingga muncul angka di tingkat nasional. Data dan angka model nangguh semacam ini memang memungkinkan satu orang (orang yang sama)  terdata berulangkali, karena bisa saja dalam satu minggu saya bepergian tiga empat kali entah ke Jakarta entah ke luar Jawa.

Baca Juga : Sisan Gawe, Mentalitas Jago

Pengumpulan data model nangguh yang antara lain mengandung kelemahan seperti disebutkan di atas, kelihatannya akan diganti lewat cara digoleki lan  nggoleki. Mekanismenya tracing itu akan seperti apa, kita tunggu saja, seraya tetap waspada dan bermohon semoga kasus Covid 19 semakin menurun dan menurun.

(JC Tukiman Tarunasayoga, Pengamat Kemasyarakatan)