JC Tukiman Tarunasayoga
LAGI-LAGI teringat lagu masa kecil dulu tentang gajah, dan haqulll yakin saat ini anak-anak kecil tidak mengenalnya;n. Penggalan lagumya demikian: “Gajah….gajah, kowe takkandhani, jah: mata kaya laron, kuping gendhe kaya ilir.”
Sebuah deskripsi tentang gajah, yakni matanya sipit dan diibaratkan sekecil laron (binatang kecil-kecil yang keluar malam hari di saat sesudah hujan turun).. Namun telinganya besar atau lebar seperti kipas yang lebarrrr banget.
Dan kalau gajah itu berjalan, nyanyian itu melukiskannya: Yen mlaku, renggunuk…………renggunukkkk ……… renggunukkkkk…….. pelan tetapi berwibawa tanpa banyak suara.
Berkaitan dengan gajah pula ada sejumlah idiom yang memberikan penmbelajaran tertentu. Misalnya, ada idiom berbunyi bathang gajah, mayat gajah terjemahan lurusnya. Idiom itu mau mengatakan, tilsanane wong sugih, wong kuwasa, tetep isih luwih akihhhhhhhh tinimbang tilasane wong liya.
Baca juga Kancilen
Harta peninggalan orang kaya atau pun orang yang dulunya punya kekuasaan, pasti tetap jauh lebih banyak dari peninggalan orang pada umumnya. Karena itu tidak usah heran jika ada mantan penguasa masih berpengaruh. Karena memang bathang gajah, dan anak turunnya sering disebut balung gajah; yahhhhh otomatis tetep luwih sugih, ta ndes!!
ngGajah Ela
Idiom lain ialah nggajah ela, maksudnya, menggunakan kebesaran fisik gajah, dalam idiom ini digambarkan tentang orang (besar?) yang memiliki kehendak besar pula. Kalau misalnya planet itu bisa dibeli, orang kaya raya mungkin akan membelinya.
Mengapa? Lagi-lagi, orang besdsar, orang kaya itu kemauannya juga besar dan tinggi. Mana mungkin orang besar, orang kaya, kok hanya berpikir membeli sebidang tanah seluas 500 meter persegi. Kalau perlu alun-alun selatan dan utara pun pengin dimilikinya.
Mana mungkin mantan penguasa kok lalu duduk manis jagongi jago kluruk. Tidak mungkinlah. Mantan penguasa ya tetap saja masih mau memanfaatkan sisa-sisa pengaruhnya untuk masih mau menjangkau yang lebih besar lagi sejauh masih mungkin. Apakah orang semacam ini dapat disebut rakus? Ya terserah saja, yang penting kekarepane isih gedhe. Inilah yang disebut dengan idiom nggajah ela.
Besarnya gajah juga dipakai dalam sebuah bangunan. Rumah-rumah di perdesaan di masa-masa lalu, selalu ada tiga bangunan utama, yakni pendapa, omah buri, dan gandhok. Masih ada lagi pawon yang terletak di bagian belakang dari omah buri dan gandhok.
Jika atap dari pendhapa itu diperlebar pada empat sisinya, maka atap seperti itu disebut empyak gajah, rumah yang keempat sisi atapnya diperlebar sehingga nampak rumah itu semakin besar.
Di-gajah-i
Entah mengapa tindakan para petani seperti yang akan saya lukiskan ini disebut di-gajah-i. Singkat ceritanya begini:, di zaman memanen padi masih menggunakan ani-ani atau ketam, begitu seorang ibu telah berhasil memetiknya sebanyak segenggaman tangannya, ia lalu mengikat tangkai padi itu dengan batang padi (damen).
Setelah diikat, padi itu lalu dijemur di suatu tempat. Pasti pemilik sawah yang mengawasi. Ibu itu lalu meneruskan seni ani-aninya. Diikat lagi setelah segenggam didapatnnya, lalu dijemur di dekat yang tadi. Jika buruh potong padi itu ada dua puluh orang, maka ada dua puluh lokasi penjemuran. Proses semacam inilah yang disebut dengan di-gajah-i.