blank
Ilustrasi. Reka: wied SB.ID

JC Tukiman Tarunasayogablank

 KONTEKS ulasan ini terkait dengan persidangan sengketa Pilpres di MK beberapa waktu lalu. Saat itu para pendekar hukum paling top maupun yang belum top “berlaga” di medan tempur terbuka.

Menarik sekali, dan sampai sekarang  ini masih tersisa dalam ingatan kita, siapa ahli hukum  sing lungid, siapa pula sing menthel di antara ratusan pakar itu. (Catatan: bacalah menthel sebagaimana Anda mengucapkan “salam tempel telah disampaikan seraya nempel-nempel.” Atau “bebek goreng lebih kriuk dibandingkan dengan ………….)

Baca juga Nempil

Seseorang, -siapa pun itu- , disebut lungid manakala ia tampil dengan kata-kata dan buah pikir yang  benar-benar terasa (i) landhep, (ii) unggul kawruhe, apa maneh (iii) ngerti kang ghaib. Itulah makna lungid, yakni buah pikir dan bibirnya itu menunjukkan betapa orang itu pinter tenan, pikiran dan analisisnya tajam, kandungan ilmunya unggul dan mendalam dibandingkan orang lain; bahkan sangat boleh jadi orang itu tahu apa yang ada dibalik tabir.

Wong lungid tampil tidak mementingkan gesture atau pun gimmick, tetapi yang utama adalah menyampaikan kandungan ilmu pengetahuannya sedemikian rupa sehingga orang yang mendengar atau mengikuti manthuk-manthuk tanda mathuk sarujuk, mengangguk-angguk setuju. Wong lungid pasti lebih mementingkan substansi atau isi daripada sekedar tampil penuh basa-basi asesoris.

Menthel

Lain lungid lain pula menthel. Wong menthel itu maknanya (a) kenes banget (bacalah kenes seperti Anda mengucapkan kernet), yaitu orang yang tampil genit, banyak tingkah dan omong;  serta (b) kemayu, berlagak cantik gemulai melambai. Wong menthel  cenderung mementingkan gaya atau pun penampilan, penuh kata-kata membuai aduhai, atraktif serba akting.

Apakah wong menthel tidak berpengetahuan luas atau pun mumpuni? Mungkin dia punya kandungan ilmu yang baik juga, tetapi karena orang itu  lebih mementingkan cara tampil, -maksudnya mau meyakinkan- , lalu orang melihatnya lebih kepada “cara tampil apa lagi, nih?” dan tidak memedulikan isi atau substansi yang ia sampaikan.

Apakah orang lalu manhtuk-manthuk sarujuk? Besar kemungkinannya tidak, karena orang lebih suka merespons dengan “Hmmmmmmm” atau “wouwwwwwww” melihat cara ngomong atau pun aksesoris yang menyertainya.

Lalu?

Wong menthel bertujuan utama mencari perhatian atau minimal menarik perhatian orang. Cara yang ditempuh sangat bermacam-macam, bergantung pada rasa percaya dirinya secara personal. Mau tampil wahhhh meriah, silahkan; mau mejeng penuh jreng…..jreng……jreng sumangga; mau suka nraktir siapa pun, boleh-boleh saja.

Di samping suka cari dan curi perhatian, wong menthel pasti menyertainya dengan full senyum, sok akrab dengan siapa saja, tidak menolak wawancara atau pun ngobrol-ngobrol ngalor-ngidul. Dan semua itu dilakoninya secara meyakinkan.

Pertanyaan besarnya, ialah apakah Indonesia ke depan ini lebih membutuhkan wong-wong lungid, ataukah justru perlu memperbanyak wong-wong menthel agar nuansanya serba gemerlapan? Saya sangat tidak berhak menjawab pertanyaan  besar ini.

Saya sekedar melontarkan sebagai bahan diskusi bersama, mengingat tantangan kita ke depan (menuju Indonesia Emas 2045) sangat besar juga.

Saya lebih senang bercerita saja, dan ini pun nyontek dari buku seseorang. Judul ceriteranya “Siapa lebih cerdik?” Alkisah, ketika terjadi kelangkaan daging sapi, seorang jagal meletakkan sepotong daging sapi di timbangannya dan memberi tulisan “Rp 150.000.” Calon pembeli yang lalu Lalang melihat seonggok daging dan tulisan itu seraya bergumam, “mahal,” lalu lewat saja.

Ada seorang calon pembeli menghampiri jagal, lalu berucap: “Kok daging ini terlalu kecil; adakah yang lebih besar?”

Jagal licik dengan gesture-nya merespons seraya mengambil daging itu, memasukkannya ke dalam refrigeratornya, berhenti sejenak seolah sibuk dengan hal lain, dan tidak berapa lama lagi ia mengeluarkan sebongkah daging yang sama tadi sambil berucap: “Ini yang lebih besar, harganya Rp 175.000!”

“Ohhhh bagus, kebetulan kalau begitu. Saya ambil dua-duanya,” sergah calon pembeli seraya mengeluarkan dompetnya.

Nah……….. siapa lungid: si jagal atau calon pembeli? Siapa menthel, si jagal atau si calon pembeli? Satu hal sangat pasti, rakyat Indonesia itu pembeli.

JC Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Soegijapranata Catholic University