blank
Ilustrasi. Reka: SB.ID

JC Tukiman Tarunasayogablank

DALAM Dalam sebuah webinar, salah satu pembicara, -saat itu saya ditugasi sebagai moderator-, menyebut ada tren dalam pelaksanaan demokrasi kita, disebutnya demokrasi yang baru. Pembicara memberi banyak contoh perihal praktik demokrasi baru itu, namun tidak menyebut secara khusus namanya.

Ditinjau dari kacamata budaya, tanpa seizin pembicara (nanti akan tahu sendiri beliau), apa yang tadi disebutkan itu, rasanya tepat kalau praktik demokrasi  sekarang ini saya beri nama demokrasi nempil.

Dan supaya saya dianggap seolah-olah tahu banyak, maka saya lebih menyangatkan lagi: Saya katakan trias politica dalam kenyataannya sekarang ini menjadilah nempil politica. Praktik-praktik kekuasaan legislatif di sana-sini dijalankan dengan cara nempil kekuasaan eksekutif dan yudikatif; demikian pula praktik-praktik kekuasaan eksekutif, nempil kekuasaan legislatif dan yudikatif. Begitu selanjutnya, saling nempil.

Baca juga Gembeng Kalung Kreweng

Apakah praktik demokrasi seperti ini memraktekkan yang disebut win-win solution? Rasanya tidak, sebab yang terjadi tidak selalu saling menang. Tampaknya ada saja yang kalah atau mengalah dulu, atau “dikalahkan’ lebih dahulu.

Nempil

Kultur nempil terjadi dalam dunia perdagangan tetapi dalam skala kecil-kecilan saja. Jangan pernah bayangkan perdagangan skala besar; sebab nempil itu lebih berupa tuku sithik untuk dijual lagi.

Etika nempil kurang lebih “disepakati” sebagai berikut:  Pertama, seseorang hanya boleh membeli sebagian kecil saja dari barang dagangan seseorang, sebutlah temannya.

Kedua, barang sedikit yang telah dibeli itu (mungkin saja diminta) tidak boleh dijual dengan harga yang jauh lebih mahal, cukup asal memeroleh sedikit keuntungan saja.

Ketiga, bila barang tempilan itu tidak laku, barang itu tidak boleh dikembalikan atau ditukarkan. Itu bagian dari resiko yang harus ditanggung oleh penempil. Dan keempat, satu kali saja salah satu dari etika nempil itu dilanggar, penempil akan di-black list, tidak boleh nempil lagi di situ, silahkan ke pedagang lainnya.

Baca juga Amicus + Amica = TTM

Arti nempil yang kedua, ialah melu, nunut; sekedar ikut, sekedar nebeng. Resiko dari sekedar ikut atau sekedar nebeng ialah orang harus mau dinunuti. Rupanya di sinilah, -semoga saya tidak salah-, demokrasi nempil itu sering terjadi, sering dipraktikkan. Sampai-sampai saking seringnya, bisa jadi tidak jelas lagi: Siapa nunut siapa, siapa dinunuti apa, apa diikutkan siapa, dan apa dibeli atau diminta siapa.

Kapan nempil  itu terjadi? Praktik di pasar-pasar tradisional, tempil menempil terjadi pada saat pasar durung temawon, sebelum pasar ramai; atau dengan cara nyegat dalan, yaitu menemui para penjual sebelum masuk pasar. Hebatnya para penempil ialah, ia/mereka itu orang rajin, mau kerja keras, pinter diplomasi, dan mesti bathi (dapat untung).

Begitukah?

Pertanyaannya sekali lagi, begitukah dan benarkah telah terjadi nempil politica di negeri kita tercinta ini? Jawaban atas pertanyaan sangat serius ini saya serahkan sepenuhnya kepada para ahli politik, hukum, dan lainnya. Pengamatan saya dari sudut budaya menemukan gejala seperti itu.

Ramainya “pasar” di legislatif, eksekutif, atau yudikatif biasanya telah diawali tepatnya didahului oleh aktifnya para penempil, yang secara diam-diam telah beraksi. Sebelum ayam jantan berkokok, para penempil itu telah malang melintang; dan pada saat orang istirahat atau bahkan tidur, tukang nempil menghitung untung seraya mengatur strategi lain.

Ada cerita kuna demikian: Seorang pimpinan jemaat berkotbah berapi-api tentang gratisnya masuk sorga. Siapa pun tidak dipungut biaya untuk masuk sorga sebab Tuhan secara cuma-cuma, gratia, gratis menyiapkan sorga bagi siapa pun asal saja mau bertobat. Seperti air mengalir, kita cukup mengambil begitu saja.

Setelah khotbah berapi-api selesai, tiba saatnya para petugas pengumpul derma bergerak untuk mengedarkan kantong-kantong derma. Seorang jemaat berdiri dan berkata lantang: “Pastor, tadi dibilang segalanya gratis. Mengapa kita diminta kumpulkan derma?”

Dari mimbarnya pastor pelan menjawab: “Minta sedikit saja dari hartamu, –nempil– . Tunjukkan ikhlasmu untuk menerima dan masuk sorga secara gratis.”

Seorang jemaat itu lalu merogoh saku bajunya, memasukkan entah berapa rupiah ke dalam kantong derma,  dan kebaktian berlanjut tanpa insiden apa pun lagi.

JC Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Soegijapranata Catholic University