Ilustrasi koruptor. Foto: Dok/Pixabay-iStock

Oleh: MG Westri Kekalih Susilowati

DERETAN panjang daftar koruptor dalam lima tahun terakhir, 60 persen diantaranya politikus. Secara kelembagaan, dalam beberapa parpol terinfeksi koruptor, dalam arti terdapat oknum yang terjerat korupsi dalam bentuk suap dan gratifikasi.

Seperti dilansir dalam Kompas.com, 4 Desember 2018, Mantan Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan 80 persen kasus korupsi yang dilakukan penyelenggara negara melibatkan pihak swasta. Isu korupsi masih menjadi isu “seksi” dalam debat tersebut. Berbeda dengan isu lainnya, nampaknya para capres memiliki kesamaan pandangan terhadap isu ini. Intinya satu, korupsi harus dimusnahkan.

Kerugian Sosial Korupsi

Tindak korupsi telah begitu menyita perhatian karena berbagai kerugian yang diakibatkan. Secara agregat, korupsi menyebabkan (1) menurunnya produktivitas khususnya sektor industri yang yang menyumbang lebih dari 20 persen terhadap PDB, (2) terhambatnya pertumbuhan ekonomi melalui pengaruhnya terhadap investasi. Keberadaan korupsi menimbulkan inefisiensi alokasi sumber daya/ekonomi biaya tinggi karena memungkinkan munculnya biaya “siluman”, hal ini akan menjadi disinsetif bagi investor untuk menanamkan modalnya.

Penelitian Sri Nawatmi (2016) terhadap 12 negara di Asia Pasifik menunjukkan adanya pengaruh positif signifikan indeks persepsi korupsi (Coruption Perception Index/CPI) terhadap pertumbuhan ekonomi, yakni setiap kenaikan CPI sebesar 1, maka PDB di 12 negara tersebut akan naik sebesar 96,50 juta US$. Demikian juga, investasi yang saat ini memiliki kontribusi sebesar lebih dari 31 persen dari PDB, (3) rendahnya kualitas pelayanan dan fasilitas publik seperti pendidikan dan layanan kesehatan karena berkurangnya alokasi riil yang digunakan untuk peyelenggaraan pelayanan dan fasilitas publik, (4) ketimpangan pendapatan yang terjadi karena adanya pengalihan kekayaan untuk memperkaya diri sendiri dan, (5) rendahnya penerimaan pemerintah khususnya dari sektor pajak sebagai sumber penerimaan terbesar (70 persen APBN). Artinya, korupsi menurunkan taraf hidup sebagian besar masyarakat, korupsi memperkuatan lingkaran setan kemiskinan.

Indonesia (masih menjadi) Negara Terkorup

Berbagai tindakan preventif korupsi (setidaknya secara legal formal) sebenarnya telah dilakukan oleh pemerintah. Upaya tersebut dapat dilihat dari diterbitkannya instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2016 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi dan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi.
Namun, data masih menunjukkan masih besar dan masifnya praktik korupsi di Indonesia.

ICW melaporkan jumlah potensi kerugian negara akibat korupsi periode 2012-2022 mencapai Rp138,39 triliun. Datadoks.katadata.id menunjukkan bahwa berbagai kasus tindak korupsi yang ditangani oleh KPK selama tahun 2023, sampai dengan bulan Oktober terdapat 85 kasus. Kasus terbanyak dalam bentuk gratifikasi dengan 44 kasus, disusul pengadaan barang/jasa dengan 32 kasus, TPPU 6 kasus, merintangi penyidikan 2 kasus, dan pungutan/pemerasan 1 kasus.

Berdasarkan struktur kepemerintahan, tindak pidana korupsi terjadai pada tingkat pemerintah kota/kabupaten, yakni sebanyak 29 kasus. Menurut kelembagaan, tindak pidana korupsi paling banya terjadi pada instansi kementerian, 26 kasus, BUMN/BUMD 20 kasus, dan pemerintah provinsi 10 kasus. Pelaku tindak pidana korupsi terbanyak dilakukan oleh pejabat eselon I, II, dan III. Sementara itu, kasus yang melibatkan swasta sebanyak 26 kasus.

Berdasarkan wilayah, KPK mencatat 5 Provinsi dengan kasus korupsi terbanyak yaitu Sumatera Selatan, Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera Utara, dan Kalimantan Selatan.
Di sepanjang semester pertama 2023 KPK menggelar tiga kali OTT. Dalam gelar OTT tersebut tertangkap antara lain Bupati Kepulauan Meranti, sejumlah pejabat Direktorat perkerataapian, dan wali kota Bandung. KPK juga telah melakukan upaya hukum terhadap 1.620 orang.