Ilustrasi koruptor. Foto: Dok/Pixabay-iStock

Kasus korupsi di Indonesia masih relatif tinggi. Dengan menggunakan skala 0 – 100 Transparency International melaporkan Indonesia memiliki skor indeks persepsi korupsi (IPK) 34. Skor yang mendekati 0 mencerminkan kondisi negara semakin korup. Sementara skor yang mendekati 100 mengindikasikan suatu negara semakin bersih dari korupsi. Dengan Skor tersebut, Indonesia merupakan negara terkorup ke-5 di Asia Tenggara. Secara global, indeks persepsi korupsi rata-rata adalah 43, artinya tingkat korupsi Indonesia di atas rata-rata global.

Sejumlah Hambatan Penanganan Korupsi

Korupsi harus dimusnahkan, demikian terungkap dalam debat capres putaran pertama 2023. Namun, memusnahkan tindak pidana korupsi tidaklah semudah diucapkan. Terdapat beberapa hambatan dalam penanganan korupsi. Penelitian Wicipto Setiadi (2018) secara detail memaparkan beberapa hambatan penanganan korupsi. Pertama, hambatan struktural, yaitu hambatan yang bersumber dari praktik-praktik penyelenggaraan negara dan pemerintahan seperti ego sektoral dan lembaga serta lemahnya fungsi pengawasan dan koordinasi.

Kedua, hambatan budaya. Hambatan ini bersumber dari kebiasaan negatif yang berkembang di masyarakat seperti masih adanya ”sikap sungkan” dan toleran, kurang terbukanya pimpinan instansi sehingga sering terkesan permisif dan melindungi pelaku korupsi.

Ketiga, hambatan instrumental, terjadi karena kurangnya peraturan perundangundangan, misalnya masih terdapat peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih, belum adanya “single identification number” yang berlaku untuk semua keperluan dan sulitnya membuktikan tindak pidana korupsi.

Keempat, hambatan manajemen. Hambatan ini timbul karena pengabaian prinsip-prinsip manajemen yang baik, pengabaian sistem tata kelola yang bersih, transparan, akuntabel.
Pentingnya Pendidikan Karakter

Dalam jangka waktu cepat, pencegahan tondak pidana korupsi diantaranya dapat dilakukan dengan pengembangan teknologi informasi untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan, sistem pengawasan, serta fungsi koordinasi. Namun, lebih dari ini “pendidikan” adalah kunci. Mental korupsi adalah masalah intergritas diri, masalah karakter. Sistem pendidikan yang memberikan ruang seluas-luas nya untuk pembentukan karakter dengan integritas tinggi merupakan hal mutlak dan harus dimulai sejak dini. Selama ini, kurikulum pendidikan didesign berbasis kompetensi. Kurikulum berbasis kompetensi tidak buruk, namun mungkin kurang tepat jika diterapkan pada pendidikan dasar.

Kurikulum pendidikan dasar akan jauh lebih baik jika didesign “Kurikulum Berbasis Karakter dan Intergritas/KBKI”. Kurikulum berbasis kompetensi lebih tepat diterapkan pada pendidikan tingkat menengah atas dan pergurunan tinggi. Ukuran-ukuran akademis yang cenderung menciptakan persaingan kurang sehat sebaiknya diminimalkan. Menanamkan nilai-nilai integritas seperti kejujuran, kesederhanaan, rasa tanggung jawab, kedisplinan, kepedulian, dan kerjasama dapat menekan timbulnya perilaku gaya hidup mewah, hedonis, materialis-kapitalis dan mementingkan diri-sendiri yang memicu korupsi.

Selain itu, harus disadari bahwa masalah pemberantasan korupsi bukan menjadi tanggung jawab KPK atau pemerintah semata, tetapi merupakan tanggungjawab seluruh elemen di dalam Masyarakat. Korupsi tidak mungkin dilakukan sendiri. It takes two to tango. Penyuapan tidak akan terjadi jika tidak ada yang mau menyuap dan bersedia disuap. Artinya, semua elemen memang harus terlibat dalam memberantas korupsi. Jika tidak, maka penanganan korupsi akan selalu menjadi retorika. Korupsi akan selamanya menjadi isu debat capres cawapres pada masa yang akan datang.

MG Westri Kekalih Susilowati (FEB Unika Soegijapranata Semarang)