SWISS (SUARABARU.ID) – Film Dokumenter “Legiun Tulang Lunak: 20 Centimeters per Year” Kolektif Hysteria yang diproduksi oleh Semaya Studio, diputar secara tertutup di Zurich, Swiss, Rabu 12 Maret 2025.
Film tersebut dibawa oleh Semaya Studio untuk ikut serta dalam Program Workshop “Anthropological Explorations of Alternative Education in Indonesia”, yang diadakan oleh ISEK Zurich University dan Fakultas Antropologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Nur Wulandari (Wucha) selaku Produser, Script Writer, sekaligus Director dari Semaya Studio yang menggarap “Legiun Tulang Lunak,” mengatakan bahwa film tersebut mendapatkan sambutan baik dari para mentor workshop.
“Legiun Tulang Lunak dinilai cukup menarik, karena digarap menggunakan metode partisipasi observasi dan pengumpulan data arsip, sebagai output dari Visual Etnografi,” katanya.
Dirinya menjelaskan, biasanya data arsip digunakan oleh anak sejarah, tetapi dalam pembuatan film ini, data dan arsip menjadi bahan untuk menulis dan membuat film naratif.
Memilih menggunakan pendekatan etnografi visual, Wucha yang berperan pula sebagai periset mengungkapkan bahwa penggarapan film “Legiun Tulang Lunak”, memiliki tantangan tersendiri.
“Film Legiun itu kan metodenya adalah pengumpulan data arsip, partisipatory observatif dan perekaman wawancara. Itu yang jadi challenge-nya, bagaimana data yang sebanyak itu dan kompleks, bisa diceritakan dalam bentuk film dan penulisan ilmiah. Dari semua partisipan workshop yang menghasilkan visual etnografi itu cuma aku, Film ‘Legiun Tulang Lunak’ itu,” kata Wucha.
Dirinya lantas menjelaskan bahwa kompleksitas yang dimaksud tidak hanya berupa wacana, melainkan bentuk kolaborasi dari beberapa pihak.
Di antaranya ialah Semaya Studio sebagai penggarap dan Kolektif Hysteria, sebagai objek film yang memiliki data dan arsip dari dua dekade bergeliat di ranah seni-budaya dan wacana kampung-kota.
Wucha mengatakan bahwa awalnya hanya berfokus pada salah satu program yang dimiliki oleh Kolektif Hysteria, melalui Platform PekaKota, yakni PekaKota Institute untuk dijadikan objek penelitiannya.
PekaKota Institute adalah salah satu program yang diinisiasi oleh Kolekif Hysteria, Semarang. Bentuknya berupa ruang kelas intensif yang digelar rutin selama beberapa tahun terakhir.
Ruang tersebut layaknya sekolah alternatif singkat, yang diisi oleh para pemateri ahli di masing-masing bidang, khususnya mengenai wacana seni-budaya dan kampung kota.
PekaKota Institute menjadi pijakan awal bagi para peserta untuk kemudian terjun langsung ke masyarakat, melalui beberapa program lain dengan output forum maupun festival kampung. Seperti PekaKota Forum, hingga Purwarupa Program.
“Saya mengajukan topik mengenai Pekakota Institut yang mana adalah program dari Hysteria Kolektif sebagai fokus risetku. Dalam perjalanannya, diwaktu bersamaan, Hysteria mengajakku untuk membuat film,” kata Wucha.
“Maka kusebut proses ini menjadi metode kolaboratif untuk membuat film, menghasilkan tulisan, juga metode baru yang sedang aku explorasi sebagai etnografer juga filmmaker,” jelasnya lagi.
Lebih lanjut, ia memaparkan bagaimana program-program yang diinisiasi oleh Kolektif Hysteria, khususnya PekaKota Institute, kemudian menjadi salah satu ruang belajar alternatif, sekaligus gerakan sosial kolaboratif yang menarik untuk dicatat dan direfleksikan.
“Film di screening adalah bagian dari workshop, bagaimana aku melihat Visual Methode dan Pandangan Kritis terhadap gerakan sosial di Pekakota Institute sebagai platform alternative education,” kata Wucha.
“Proses workshop dengan berbagai insight, catatan untuk gerakan sosial seperti Hysteria khususnya hadirnya Pekakota Institut sebagai ruang belajar, mempertanyakan ulang bagaimana posisi kehadiran partisipan dalam hal ini? Metode kolaboratif ini menjadi menarik untuk dicatat dan direfleksikan,” tambahnya.
Dalam proses riset kurang lebih satu tahun, Wucha dan tujuh periset lain yang mengikuti program tersebut akhirnya bisa mempresentasikan output dari objek yang diteliti dalam diskusi tertutup hari itu.
Meskipun pada praktiknya, pemutaran maupun diskusi yang digelar tidak dibuka untuk publik. Dan hanya bisa dihadiri oleh supervisi pelatihan dan mahasiswa Zurich University, serta mahasiswa lain yang mengikuti program tersebut.
Itulah alasan Film Dokumenter “Legiun Tulang Lunak: 20 Centimenters per Year”, akhirnya diangkut ke Zurich, Swiss, untuk dipertontonkan, sekaligus sebagai output dari penelitian Wucha untuk “Anthropological Explorations of Alternative Education in Indonesia”.
Diketahui sebelumnya, film tersebut tahun ini juga diputar di 30 titik di Pulau Jawa, Bali hingga Asia. Dengan mengajak beberapa jejaring komunitas yang dimiliki oleh Kolektif Hysteria, pada masing-masing lokasi sebagai kolaborator dan tuan rumah.
Program Screening Tur ‘Bandeng Keliling’, sekaligus menjadi rangkaian agenda Penta Klabs V, yang akan digelar pada bulan Agustus 2025 di Kota Semarang.
Hery Priyono