Ilustrasi siswa belajar di sekolah. Foto: pixa

Oleh: Nuridin & Ira Alia Maerani

PENDIDIKAN terbaik menjadi idaman semua kalangan. Bagi orang tua, memilihkan pendidikan terbaik untuk anak sudah barang pasti menjadi kewajibannya. Pendidikan terbaik tentu akan dilakukan oleh lembaga pendidikan terbaik, dengan para guru terbaik, yang siap mendidik siswa-siswinya. Sikap ini tentu saja wajar. Mengapa demikian? Karena orang tua memandang, anak adalah sebagai amanah, yang tentu saja harus diberikan pendidikan terbaik, agar kelak menjadi pribadi-pribadi yang bisa mengantarkan kepada kebaikan di dunia dan akhirat.

Sikap ini tentu juga tidak keliru, karena bagaimanapun orang tua adalah penanggung jawab utama sekolah pertama, dan ingin anak-anaknya menerima lanjutan pendidikan yang sudah diberikan di rumah.

Namun demikian, masih ada sebagian orang tua yang memiliki pandangan bahwa, pendidikan terbaik dan lembaga terbaik seringkali diukur hanya pada capaian prestasi akademik. Semata sebagian orang terlalu menyederhanakan, bahwa pendidikan terbaik adalah pendidikan yang dapat mencetak siswa-siswinya memiliki nilai akademik tertinggi. Tidak jarang pandangan seperti ini kemudian menempatkan lembaga pendidikan pada posisi yang akan menekankan pada capaian-capaian akademis saja.

Padahal jika dipahami secara menyeluruh, potensi anak tentu beragam. Kecerdasan anak tidak hanya diukur pada kecerdasan intelektual semata. Terdapat ragam dan potensi kecerdasan yang perlu dikembangkan, terutama kecerdasan spiritual. Kecerdasan puncak ini perlu benar-benar diberikan kepada anak, sehingga mereka mengenal betul apa yang menjadi hak dan kewajibannya sebagai seorang makhluk Tuhan Yang Maha Esa.

Kecerdasan emosional siswa juga perlu dibangun, melalui upaya pendidikan yang akan memberikan pembiasaan sehari-hari. Ibarat peribahasa mengatakan, “Ala bisa karena biasa”. Maka jika seorang anak terbiasa melakukan aktivitas shalat di rumah setiap hari sebanyak 5 waktu, maka bukanlah hal yang sulit jika ia berada di luar rumah. Tanpa pantauan orang tua. Tumbuhnya kesadaran bahwa Sang Khaliq, Allah SWT, akan selalu mengontrol dan mengawasi selama 24 jam. Ini tentu saja bersinergi dengan tujuan pendidikan nasional, untuk mendekatkan anak didik pada Tuhan Yang Maha Esa. Termasuk juga senafas dengan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

* * * * *

Pengembangan kecerdasan spiritual menjadi yang paling utama, karena kecerdasan ini menjadi kecerdasan yang secara universal sudah dimiliki oleh setiap manusia. Oleh karena itu, maka lembaga pendidikan terbaik adalah lembaga pendidikan yang mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki siswa, yang pada gilirannya akan membentuk pribadi-pribadi yang akan memiliki keunggulan di bidang masing-masing, sesuai dengan potensi dan kepeminatannya.

Jika pemahaman seperti ini dimiliki oleh orang tua, tentu tidak akan terjadi upaya untuk memalsukan piagam, mendongkrak nilai rapor dan atau melakukan hal-hal yang dianggap sebagai perilaku ketidakjujuran (kebohongan/kecurangan), guna memperoleh kesempatan bersekolah yang telanjur dianggap sebagai sekolah favorit. Perilaku ini secara tidak sadar maupun secara sadar, telah mendidik anak-anak untuk berlaku curang di dalam meraih keinginannya. Tindakan yang mengabaikan kejujuran. Perilaku ini tentu saja tidak baik bagi perkembangan mental, psikis, karakter dan budaya bangsa. Kiranya perlu kesadaran semua pihak, bahwa nilai-nilai kejujuran karakter akhlak norma sesungguhnya merupakan nilai-nilai utama yang secara integratif menjadi bagian dari proses pendidikan bangsa.

Proses integratif ini akan berlangsung dengan baik, jika terbangun sinergitas yang baik antara pihak sekolah, orang tua dan masyarakat serta pemerintah, sebagai penanggung jawab terhadap keberlangsungan pendidikan nasional. Dimana seluruh elemen memiliki kesamaan persepsi di dalam memandang sebuah proses pendidikan.

Terhadap kasus ini, pemerintah sudah selayaknya melakukan introspeksi dan mengevaluasi secara menyeluruh serta melakukan kajian mendalam terhadap pengelolaan pendidikan nasional. Terutama terkait kebijakan di bidang pendidikan. Baik itu terkait kurikulum, sarana dan prasarana maupun kebijakan bagi para guru.

Guru menjadi garda terdepan dalam menjalankan kurikulum. Guru menjadi teladan bagi anak didiknya. Maka seyogyanya, sosok guru adalah sosok ideal yang digemari, diminati dan diteladani oleh anak didiknya. Guru yang sarat akan keutamaan tata nilai, hati yang bersih dan suci, intelek, kepandaian dalam menghadapi anak didik dengan segala problematikanya di era globalisasi ini. Terampil dalam penguasaan ilmu dan teknologi.
Tidak merasa enggan dan malu untuk belajar menguasai teknologi. Oleh karena itu, maka sebagai sosok yang diteladani, guru perlu difasilitasi dengan berbagai keterampilan, kesejahteraan dan penguasaan akan teknologi. Pemerintah perlu merespon hal ini secara tepat dan cepat, guna menghasilkan anak bangsa yang sesuai harapan. Generasi masa depan yang tangguh, cekatan dan memiliki karakter sesuai nilai-nilai Pancasila. Menuju generasi penerus yang religius, humanis, nasionalis, pro-rakyat, dan mengedepankan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dr H Nuridin SAg MPd (Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan/FKIP Unissula)
Dr Hj Ira Alia Maerani SH MH (Dosen Fakultas Hukum/FH Unissula) —