Ilustrasi Pilpres. Foto: Dok/Istock

Untuk itu maka kesadaran manusia dalam menjaga lingkungan serta berusaha memperlakukan alam seperti layaknya kita berkomunikasi dan berinteraksi dengan makhluk hidup lainnya (hewan, tumbuhan dan mikroorganisme) yang tidak kasat mata adalah hal hakiki yang harus terus dipupuk dan dikembangkan pemahaman dan perilakunya.

Perikehewanan dan Periketumbuhan

Istilah perikemanusiaan adalah istilah lazim kita dengarkan tatkala ada tingkah laku dan tindakan manusia yang memperlakukan orang atau pihak lain di luar norma-norma kepatutan dan kepantasan layaknya hubungan manusia dengan manusia yang lain.

Contoh yang diyakini mendekati serta memenuhi tindakan yang tidak berperikemanusiaan adalah bagaimana para pahlawan revolusi diperlakukan oleh gerakan 30 September 1965. Mereka memperlakukan para jenderal dengan kasar-keji dan cenderung biadap. Para pahlawan kusuma bangsa itu disiksa dan diperlakukan seperti hewan.

Tindakan yang mengarah pada kelakuan manusia tetapi lebih tepat ke hewan itu yang dimaknai “orang itu tidak mempunyai perikemanusiaan”. Apakah hal tersebut berarti manusia boleh memperlakukan makhluk lain selain manusia, baik hewan dan tumbuhan seenaknya sendiri (kasar, brutal bahkan cenderung sadis) kepada binatang atau tumbuhan yang ada di sekitarnya.

Kedua istilah “perikehewanan” dan “periketumbuhan” secara umum janggal dan seolah mengada-ada. Padahal negara-negara maju yang menjunjung tinggi nilai kesetaraan gender dan cinta lingkungan, manusia harus berperilaku “baik” atau santun terhadap kedua kelompok ciptaan Tuhan, baik yang masuk kedalam flora ataupun fauna tersebut.

Peristiwa yang terjadi lebih dari 33 (tiga puluh tiga) tahun yang lalu, ketika penulis menempuh pendidikan di Horbart – Tasmania Australia, memberikan pengalaman sekaligus pembelajaran yang sangat berharga bagaimana kita sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Agung yang paling sempurna tidak boleh semena-mena memperlakukan hewan dan tanaman di dalam kehidupan sehari-hari kita.

Peristiwa ini bermula ketika salah satu mahasiswa yang mengambil sampel tanaman lupa atau memang tidak mampu meraih bagian ranting atau cabang tanaman tersebut, sehingga tetap patah dan menggantung di bagian batang tanaman tersebut.

Kejadian tersebut akhirnya setelah beberapa hari nampak masih menggantung dan daun Acacia tersebut mulai nampak layu menguning diantara daun-daun hijau segar pada ranting-ranting lainnya. Kondisi ranting yang dianggap sangat menyedihkan oleh kelompok pecinta lingkungan, kemudian diambil dan untuk mengekspresikan kekesalan dan kejengkelannya, maka ranting yang mulai layu dan cenderung menuju kuning tersebut digantungkan di depan pintu/ ruang kerja Ketua Departemen “Plant Science”.

Hal tersebut tentunya menimbulkan suasana tidak nyaman bagi pemimpin departemen. Karena sebenarnya pimpinan departemen tidak tahu menahu tentang hal tersebut, tetapi mengapa justru di depan pintunya diberi ranting dan daun-daun yang hampir kering tersebut oleh mahasiswa pecinta lingkungan hidup.

Bisa kita bayangkan bagaimana sikap dan tindakan pecinta alam yang ekspresi kemarahannya ditumpahkan dalam bentuk aksi yang unik lagi simpatik ini disikapi oleh sang Profesor-Ketua Departemen.