Oleh: Aliva Rosdiana
Perang Obor merupakan tradisi kearifan lokal Islam Jepara dalam wujud tradisi kebudayaan dirayakan oleh masyarakat Desa Tegalsambi. Acara ini digelar setiap bulan Dzulhijjah. Berbondong-bondong masyarakat Jepara dari penjuru area dan masyarakat luar Jepara hadir menyaksikan upacara sakral ini.
Tradisi Perang Obor melekat dalam bingkai warisan budaya menjadi kekuatan jati diri bagi masyarakat setempat di tengah perkembangan zaman yang lebih maju dan modern.
Seiring perkembangan tradisi, Perang Obor mengalami perubahan mulai dari pra Islam yang awalnya untuk mengusir kekuatan roh jahat yang membawa bala penyakit menjadi syiar Islam yang disimbolkan dengan dua pedang kayu dan sebuah bedhug peninggalan Sunan Kalijaga dengan tetap mengedepankan ajaran-ajaran persuasif.
Kebudayaan berlandaskan nilai-nilai ketuhanan dan nilai-nilai budaya.
Pada umumnya, tradisi dihubungkan dengan unsur keagamaan sehingga tampak nilai-nilai budaya dan agama, salah satunya adalah tradisi Perang Obor yang pelaksanaannya di sekitar perempatan desa Tegalsambi menuju arah Pantai Teluk Awur Jepara.
Pagelaran wayang kulit turut mengiringi satu hari sebelumnya semalam suntuk dan dimainkan oleh pemain sekitar 50 orang pemuda pilihan dan sukarela dari masyarakat sekitar.
Tradisi ini juga diceritakan dalam Legenda Jepara yang konon pada awal zaman pra-Islam, masyarakat percaya adanya mistis. Mereka percaya bahwa segala persoalan di luar kemampuan mereka hanya dapat diselesaikan melalui kekuatan gaib. Kekuatan ini dipersonifikasikan dengan wujud benda yang kasat mata yang dipercaya memiliki kekuatan gaib yang bersemayam. Kepercayaan atas simbol juga tampak pada perilaku berupa tarian sakral dan doa-doa. Hal ini disebut magi imitates.
Perang obor dianggap memiliki magi imitates berupa obor. Simbol obor dianggap sebagai senjata yang dapat mengusir musuh baik itu berupa manusia, binatang, maupun roh jahat. Awalnya obor ini mampu mengusir penyakit yang diderita baik oleh hewan peliharaan maupun oleh masyarakat Tegalsambi.
Menurut cerita lisan (folklore), ada seorang petani pekerja keras yang kaya raya bernama Kiai Babadan. Ia memiliki banyak binatang peliharaan sapi dan kerbau. Suatu hari beliau memerintah Ki Gemblong untuk memelihara ternaknya. Bukannya memperhatikan binatang ternak milik Kiai Babadan, Ki Gemblong justru asyik menangkap ikan yang melimpah di sungai. Alhasil binatang ternak tersebut kurus dan tidak terawat. Mengetahui hal tersebut Kiai Babadan menjadi geram dan menghajar Ki Gemblong dengan obor dari pelepah kelapa. Ki Gemblong pun membalas dengan mengambil pelepah kelapa dan menyungutnya dengan api. Semakin besar api menyebar ke kandang ternak. Anehnya binatang ternak yang awalnya sakit-sakitan tiba-tiba sembuh.
Tradisi Perang Obor dipercaya membawa kebaikan warga Desa Tegalsambi. Prosesi cerita Islam ini dilakukan pengarakan empat pusaka yaitu dua pedang Gendir Gampang Dari, sebuah arca, dan sebuah bedug Dobol. Keempat pusaka ini dipercaya sebagai warisan Sunan Kalijaga kepada Kabayan Tegalsambi. Simbol kedua pedang kayu tersebut dipercaya sebagai serpihan kayu yang dipakai untuk membangun masjid Demak.
Perubahan terjadi dari zaman pra-Islam ke zaman Islam. Tradisi Perang Obor untuk mengusir roh jahat digantikan menjadi syiar agama. Menurut versi Islamnya, konon tokoh Walisongo dari zaman kerajaan Demak membawa pengaruh adanya Perang Obor.
Pelaksanaan Perang Obor adalah pada masa puncak panen. Pelaksanaannya diselingi dengan upacara selamatan sebagai wujud syukur kepada Tuhan YME atas limpahan hasil panen dalam selamatan sedekah bumi Desa Tegalsambi yang bertujuan untuk mengucap syukur kepada Tuhan YME atas panen yang berlimpah. Potret kearifan lokal Islam dalam Tradisi Upacara Perang Obor sejatinya adalah bagian dari kearifan lokal yang dianut masyarakat setempat.
Penulis adalah Dosen Unisnu dan Pegiat Sejarah Budaya di Jepara.