blank
Manisnya Lionel Messi menyundul bola. Foto: goal.com

blank

Oleh: Amir Machmud NS

// siapa yang mampu menjajari?/ dia makhluk langka/ penguasa jagat yang lahir untuk dunianya/ apa yang tidak dia dapat untuk dilipat?/ apa yang tidak dia lipat untuk didapat?/ dia ada dengan kegembiraan/ dia bergembira untuk ada// (Sajak “Sepak Bola Gembira Leo Messi”, 2021)

TAHUKAH Anda, Lionel Andres Messi menegaskan dia berbeda lantaran ruap kegembiraannya?

Aura seperti apakah yang mengantarnya meraih penghargaan sebagai manusia utama sepak bola, menggenapi jumlah yang praktis sulit disamai oleh pemain mana pun?

Ketika megabintang Argentina yang kini bermain untuk Paris St Germain itu diumumkan sebagai peraih Ballon d’Or 2021, lengkaplah tujuh kali dia membendaharakan trofi Pemain Terbaik Dunia itu pada 2009, 2010, 2011, 2012, 2015, 2019, dan 2021.

Ya, siapa bintang yang berpeluang menjajari? Paling dekat, Cristiano Ronaldo pun baru mengoleksi lima trofi, dan dalam usia yang sudah masuk ke angka 37, rasanya CR7 tidak mungkin lagi mendekat. Para peraih trofi jauh pada tahun-tahun sebelumnya, paling banyak tiga kali membukukan, yakni Johan Cruyff, Michael Platini, dan Marco van Basten.

Neymar Junior dan Kylian Mbappe yang digadang-gadang menjadi penerus Messi dan Ronaldo, hingga sekarang belum satu kali pun mendapatkan. Artinya, andai meraih pun, logikanya tak cukup lagi waktu untuk mengoleksi sebanyak yang Messi miliki.

Inikah indikator bahwa Leo Messi telah menahbiskan diri sebagai pemain terbesar sepanjang sejarah?

Ballon d’Or ketujuh ini dinuansai kontroversi. Sejumlah tokoh menyebut Robert Lewandowski atau Jorginho lebih layak mendapatkan. Namun sukses Messi memimpin Argentina meraih Copa America dan mengkontribusikan Copa del Rey untuk Barcelona adalah fakta kuantitatif yang tak bisa ditampik, di samping realitas kualitatif eksepsionalitas skill-nya yang memang “lain”.

Hanya Piala Dunia

Faktanya, hanya raihan Piala Dunia yang membedakan Messi dari Pele, Diego Maradona, Zinedine Zidane, atau Ronaldo Luis Nazario.

Semua piala dan penghargaan sudah dirasai bersama Barcelona dan tim nasional Argentina, kecuali Piala Dunia. Dan itulah yang terus dijadikan alasan para pemuja Maradona dan Pele untuk mereduksi pencapaian La Pulga.

Kapasitas teknis Messi yang seeksepsional apa pun, sering dihadapkan dengan realitas kompetensi kepemimpinannya. Acap muncul kritik: Messi bukan seorang kapten yang berwibawa, baik di klub maupun tim nasional.

Namun, tak secara objektifkah dilihat aspek lain tentang keunikan personalitas seorang manusia sepak bola, yang melekat sebagai kekuatan Leo Messi?

Dia bagai dilahirkan dengan semua elemen pembeda. Kenaturalan skill-nya berbeda dari, misalnya Ronaldo yang merupakan produk disiplin latihan spartan.

Simaklah kesimpulan legenda Manchester United, Eric “King” Cantona, suatu ketika. Keistimewaan Lionel Messi, katanya, adalah naluri untuk bermain-main. “Biarkan bersenang-senang, justru karena itu dia akan total mengeksplorasi kehebatannya…”

Itulah luapan kegembiraan bersepak bola, sumber energi Leo Messi. Psikologi performa yang lebih didorong oleh ungkapan gembira, ekspresi alamiah seorang anak untuk bersenang-senang dengan bola di padang permainan.

Sumber energi itu, pada gilirannya mengantar untuk memberi pembeda yang tak terbaca. Dan, bukankah Messi pun berkembang seperti sekarang?

Maka para pembaca menyimak seperti apa kehebatan gocekan dribelnya, passing visionernya, penempatan posisi, seni penalti Panenka-nya, hingga keterukuran tendangan bebasnya.

Karena berkaki kidal, dia pernah dikritik tak mampu mencetak gol dengan kaki kanan. Pun tak punya kualitas heading yang baik. Pele pernah menyinyiri “kekurangan” ini. Namun nyatanya, gol dengan kaki kanan dan sundulan kepala juga dibendaharakan oleh Sang Messias, bahkan menjadi penentu pada saat-saat kritis. Dan, terjawab tuntaslah sinisme Pele.

Tak perlu lagi memperkuat fakta bahwa Leo Messi merupakan pemain terbaik dunia sepanjang masa. Rasanya semua sudah cukup. Mungkin memang, yang moderat adalah berhipotesis bahwa dia salah satu di antara puncak para bintang dengan kelebihan masing-masing. Dan, Ballon d’Or 2021 ini, meskipun di sejumlah titik respons menimbulkan reaksi, tetap saja menegaskan Messi memang berbeda.

Pada sisi personalitas, dia juga bukan sosok bintang yang biasa menyulut kontroversi. Dia adalah “good boy” untuk olahraga ini.

Seperti judul film serial Lupus karya Hilman Hariwijaya yang disutradarai Achiel Nasroen pada 1987, Makhluk Manis dalam Bis, katakanlah Lionel Messi adalah “makhluk manis dalam bola”…

— Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, kolumnis sepak bola, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah.