blank
Ilustrasi

blank

SAYA sering memotivasi remaja cukup umur yang menunda menikah karena alasan belum mapan dengan bahasa jenaka. Misalnya : “Bro… percayalah, pernikahan itu bukan rezeki satu orang (pria) dibagi dua, dengan istri, melainkan menyatukan rezeki dua orang (suami – istri) menjadi satu.”

Saat lawan bicara saya mulai respon, saya perkuat dengan menyontohkan saat saya masih bujang. “Dulu, di kos, saya hanya punya dua piring, dua sendok, dan dua gelas. Sekarang, setelah berkeluarga, punya anak dan istri, piring dan sendok saya malah bertambah banyak.”

Biasanya, dengan mendengar guyonan saya, mereka tertawa, lalu mikir. Menurut pengalaman, motivasi yang dikemas dengan bahasa humor itu lebih mudah diterima dan juga nancep dihati. Terbukti, setelah mereka  menikah, dan memiliki beberapa anak, setiap kali bertemu saya, yang mereka kenang itu bahasa motivasi saya.”

Dianggap Pelet

Saya kenal beberapa orang yang oleh publik dianggap punya ilmu pengasihan atau pelet. Itu karena dia mudah menundukkan wanita.  Bahwa dia itu punya ilmu yang bersifat batin, itu benar. Namun itu bukan ilmu pelet.

Ada teman yang punya empat istri, tiga diantaranya usianya lebih muda. Dia yang paham ilmu metafisika namun tidak berprofesi sebagai orang pintar itu menjelaskan, kemampuan komunikasi seseorang secara alamiah menyebabkannya mudah berinteraksi dengan orang dari  berbagai karakter.

Misalnya, ketika dia bertemu  wanita yang mengeluh sulit ketemu jodoh, cara dia meyakinkan keampuhan sarannya disertai bahasa humor, misalnya,”Kalau amalan dan pegangan ini tidak manjur, nanti Anda saya nikahi sendiri.”

blank

Mantra Jenaka

Suatu saat, ada kawan yang khawatir kalau istrinya nanti melahirkan  mengalami kesulitan. Teman itu lalu  sowan sesepuh. Awalnya dia ingin minta air yang sudah dibacakan doa atau mantra, namun oleh tuan rumah dia diberi ilmunya.

Kebetulan, saat itu bertepatan malam Jumat, hari yang dianggap baik untuk mengajarkan ilmu. Dia tidak dilayani sebagai tamu, namun diperlakukan layaknya murid. Dia disuruh mencari syarat yang diperlukan, yaitu daun sirih dan minyak kelapa.

Setelah syarat terpenuhi, murid dan guru itu saling bersalaman. Guru mengucapkan mantra, dan muridnya diminta menirukannya. Ketentuan lain, saat diwejang mantranya, dia tidak boleh tersenyum atau tertawa.

Dan jika aturan itu dilanggar, dia tidak bisa meneruskan pelajaran lagi.

Malamnya saat keduanya berjabat tangan atau serah terima ilmu, guru meminta muridnya menirukan ucapkan mantranya, dengan ketentuan jika tiga kali mengucapkan mantranya tidak hafal, tidak boleh mengulang alias gagal.

Wejangan itu berlangsung tengah malam. Guru mengucapkan mantranya dan murid mengikutinya. Namun apa yang terjadi? Pada pengucapan yang pertama murid sudah dinyatakan gagal, karena dia tidak mampu menahan tawanya.

Kenapa? Mantra yang diajarkan itu “unik”. Pada bagian akhir ada kalimat “  … nggawene kepenak, metune ya kepenak.” Yang artinya : “Membuatnya enak, keluarnya juga enak (mudah). Maka gagallah proses belajar ilmu itu. Di situ uniknya metafisika, berbagai ujian diterapkan sebagai seleksi kesungguhan bagi para pencari ilmu.

Banyak cara diajarkan orang tua zaman dulu. Teman lain mengisahkan, waktu istrinya sulit melahirkan, mungkin karena baru  pertama kalinya, oleh dukun kampung istrinya disarankan  berbicara kepada suaminya.

Kurang lebihnya, “Kang Mas, saya susah melahirkan, mungkin saya punya dosa sama sampeyan, tolong semua kesalahan saya, sejak kita saling kenal sampai hari ini, mohon dimaafkan segala khilaf dan salah saya.”

Ajaibnya, proses melahirkan pun menjadi cepat.

Pengasihan Konyol

Mengamati dunia metafisis itu unik. Ada saya temukan mantra pelet atau pengasihan yang “konyol”, berbunyi : “Ditinggal mati bapak ibune ora nangis, aku tinggal sedina nangis.”

Selain dengan mantra, ada juga dengan melakukan “ritual” sederhana, misalnya meniup ubun-ubun istrinya lalu melangkahi tubuh istri tujuh kali. Setelah itu, proses melahirkan pun lebih mudah.

Ada juga pengalaman saat ada yang susah melahirkan. Caranya  sederhana. Ibunya -sudah sepuh- dihadirkan, dan beliau diminta  menjilati perut anaknya, dan ajaibnya bayi cucunya lahir dengan mudah.

Konsep-konsep tersebut, mungkin bisa dikategorikan sebagai “traditional hynosis”. Ada juga cara yang lebih modern. Menjelang melahirkan mendengarkan rekaman yang lucu-lucu atau lagu kenangan yang paling disukai. Bahkan ada yang mendengarkan kisah lucu atau pelawak yang menyebabkan tertawa, karena  obat nyeri yang paling ampuh itu senyum, tenang, dan rileks.

Ada juga yang sudah tren medote melahirkan tanpa rasa sakit yang dikenalkan Dr Franz Anton Mesmer pada tahun 1700-an. Tujuannya untuk mengatasi rasa cemas berlebihan, fobia, dsb.

Secara ilmiah ini lebih mudah diterima, karena dalam tubuh manusia  memiliki sistem yang istimewa. Dalam kondisi rilek, tenang, hormon endorfin yang ada dalam tubuh menjadi aktif hingga mengurangi atau bahkan menghilangkan rasa nyeri.

Masruri, praktisi dan konsultan metafisika tinggal di Sirahan, Cluwak, Pati