blank
JC Tukiman Tarunasayoga

Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga

Dua hari lalu, seorang teman memosting tulisan yang mengulas tentang Berpikir Linear vs Lateral (konon tulisan itu katanya terinspirasi oleh tulisan lama  Romo YB Mangunwijaya): ehhh ….postingan itu menginspirasi saya untuk (semoga) menginspirasi Anda merenungkan idiom cantik “Wingka katon kencana” atau justru lebih senang yang sebaliknya “Kencana katon wingka.”

Berpikir linear itu berpikir lurus, bahkan mungkin tegak lurus; seperti contohnya kalau melihat pemulung, yang terpikir ialah kotor, kumuh, wong mlarat, bahkan tidak jarang yang mencurigainya memulung jemuran yen kelimpe.

Orang berpikir linear seperti itu, pasti terperanjat ketika ternyata ada (banyak) pemulung yang jujur, rumah di desanya sana ternyata sangat layak huni, dapat menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang yang cukup tinggi, dst.

Berpikir linear cenderung disertai semacam rasa yakin, lalu dalam hatinya mengatakan: “Pejabat ya pasti kaya!” Sementara itu, orang berpikir lateral (harafiah berarti menyamping), tidak serta merta bergumam “pejabat itu identik orang kaya,” namun ia akan berkata, misalnya: “Pejabat yang kaya itu mungkin korupsi, atau mungkin memiliki usaha sampaingan, dll.”

Dalam satu dua hari terakhir ini, orang-orang berpikir linear tentu sangat terperanjat – kaget-misuh-orangandel sedih dan sebagaianya karena ternyata ada pejabat yang selama ini dikenal sukses – berprestasi – mengagumkan, lha kok tahu-tahu dikecrek KPK dan berrompi oranye, tersangka korupsi.

Sementara orang-orang berpikir lateral, bergumam, antara lain: “Orang baik pun dapat terpeleset;” dan juga ada yang lalu berpikir jauh ke sana: “Aduh…..sistem perpolitikan kita memang sudah harus dirombak total nih.”

Baca Juga: Banjir Bandhang Ing Banjar Dawa

Idiom Jawa wingka katon kencana atau sebaliknya kencana katon wingka rasanya sangat tepat dipakai sebagai bukti “ajaran kehidupan” yang relatif kuna tentang cara berpikir di atas.

Wingka itu grabah, yakni perabotan yang terbuat dari tanah liat. Pecahan gerabah juga dapat disebut wingka; sedangkan kencana, semua orang pasti sudah sangat paham bahwa itu artinya emas. Pada saat tertentu, ketika dimabuk cinta contohnya, gerabah yang mudah pecah pun akan dilihat sebagai sebongkah emas; tahi kucing pun akan disebut-sebut seperti donat.

Mungkin terlena atau pun sedang buta mata hatinya, apa saja terlihat serbabaik, berkilau dan berharga mahal seperti emas. Itulah wingka katon kencana. Sebaliknya, pada saat dikecrek KPK berrompi oranye pula, orang yang dulunya serba gemerlap itu kini disebut-sebut sebagai pecahan grabah belaka, kencana katon wingka.

Pembelajarannya sebenarnya sudah sangat jelas, yakni, kita manusia yang dikaruniai hati dan pikir, sehingga disebut-sebut “pikir itu pelita hati:’ dan “hati itu lemari es pikir” kepada kita diajarkan agar selalu memadukan cara berpikir linear dan lateral.

Pada saat melihat segalanya gemerlapan, jangan lupa (sekali-sekali) bergumam syukur berdoa, semoga bertahan dan tidak berubah menjadi gerabah yang berkeping-keping karena pecah.

Wingka katon kencana atau pun sebaliknya kencana katon wingka terbukti sangat situasional belaka; maksudnya segala dan semuanya itu sangat ditentukan oleh waktu.

Ada saat tertawa, ada saat menangis; ada saat memeluk, ada saat melepas pelukan. Tegasnya, ada saat berkilau gemerlap, ada saat jatuh berkeping-keping menjadi pecahan gerabah belaka meski dulunya bagaikan sebongkah emas.

Di atas semua itu, mari kita tetap dukung siapa pun yang  sedang mengalami kondisi sebagai wingka atau pun kencana, dengan doa terbaik kita. Manusia terbaik adalah yang seimbang hati dan pikirnya.

(JC Tukiman Tarunasayoga, Pengamat Kemasyarakatan)