Oleh: Amir Machmud NS
KITA mulai dengan menyimak sajak ini:
// berita media menyala seperti api/ yang membakar lalu tiba-tiba memadam seketika/ bekas apa yang ditinggalkannya?//
//sinar akhbar menyuar seperti pijar/ yang memancar lalu tiba-tiba menguar/ lalu ke mana arah angin berkibar?//
//menguap ke mana berita-berita/ tentang korupsi yang makin menjadi/ tentang koruptor yang makin berwajah tega/ yang merenggut bantuan sosial tak kenal rasa/ ketika kita sedang remuk dikurung bencana//
// berlari ke mana nurani mengenyahkan diri/ membenam tak mau peduli/ benih lobster pun tega dikangkangi//
//dan bisa-bisanya selalu ada kata/ yang seolah-olah memaklumi/ yang menolak dihakimi/ yang verbal mengarang justifikasi/ menjadikannya peristiwa biasa/ dan wacana hukuman mati pun berlalu sia-sia/ tanpa memberi efek jera//
//ke mana dan untuk siapa/ media menggiringnya?//
(Sajak “Nyala Berita seperti Api”, Amir Machmud NS, 2021)
Lewat puisi reflektif yang pahit itu, saya menyampaikan usikan bertepatan dengan peringatan Hari Pers Nasional 2021 ini. Ada evaluasi, ada introspeksi, ada geliat muhasabah untuk mengetuk dinding nilai-nilai keprofesian.
Dan, mengkritisi dunia media tentulah menjadi bagian tak terpisahkan dari menyorot kehidupan secara umum. Bukankah media hanya merupakan “jagat kecil” dari “jagat besar” kehidupan sosial-politik-ekonomi kita? Ia hanya pantulan dari pancaran cahaya besar, entah dengan remang temaram, atau dengan benderang mencerahkan.
Dunia jurnalistik kita berjalan menua, kalau melihatnya dari sisi seremoni HPN. Tetapi menjadi makin memuda, manakala kita menatapnya dari sisi refreshment terus menerus infrastruktur dan semesta dunia komunikasi. Penuh gebyar perlombaan platform teknologi komunikasi.
Di antara nilai-nilai klasik jurnalistik dan perkembangan semesta bermedia itu, berkembang realitas-realitas yang tidak cukup kita dekati dari kacamata teknis dan skill. Secara maknawi, terdapat persoalan besar: sejauh mana, dan seperti apa media menyikapi urusan kebenaran sebagai mahkota persembahan jurnalisme?
Dalam pernyataan sikap akhir tahun 2020, kami Pengurus PWI Provinsi Jawa Tengah merasakan, betapa media menghadapi tantangan yang makin berat dalam menyampaikan kebenaran. Ketika terdapat versi-versi dan kecenderungan perilaku mengaransemen “kebenaran” (dalam tanda petik), apa yang harus diangkat dan disajikan oleh media kepada publik?
Ketika ada lebih dari satu versi kebenaran, tidaklah tepat media hanya merasa bahwa tugasnya adalah untuk menyajikan kedua-
duanya. Sikap yang tepat adalah menempuh ikhtiar untuk menginvestigasi, menemukan, lalu menyuguhkannya kepada publik.
Kondisi ini sejalan dengan pernyataan Gubernur Ganjar Pranowo ketika menyerahkan apresiasi untuk para wartawan pemenang Lomba Jurnalistik di Semarang akhir tahun lalu. Dia mengingatkan, di tengah kecenderungan silang opini, “publik butuh fakta”.
Seperti Api
Kebenaran, lalu fakta. Dalam dua hal itu, acapkali kita merasakan tayangan sebuah berita di media menjadi seperti api. Membakar dan bisa tiba-tiba seketika memadam. Memijar lalu menguap entah ke mana.
Dan, publik pun menjadi cepat lupa. Atau ketika menunggu progres perkembangan sebuah berita dan tidak menemukannya, umumnya mereka tak mengerti dan hanya bertanya-tanya, ada apa dan mengapa. Berita itu memadam, karena muncul isu lain yang menindihnya. Fragmen isu disusul oleh fragmen isu lain, dan isu sebelumnya pun terbenam (boleh jadi) akibat dari praktik rutin agenda setting.
Menyajikan fakta dan kebenaran membutuhkan ketekunan. Juga yang paling menentukan adalah komitmen. Wartawan dan media butuh kemauan “merawat suasana”, agar nyala api dirasakan benar-benar membakar. Sementara publik dikondisikan untuk ikut merawat dan mengawal lewat etos kontrol sosial. Pada segi-segi tertentu, fokus kontrol publik itu adalah mengamati sikap dan perilaku media.
Berita kasus korupsi yang disajikan besar-besaran pada saat terjadi operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) misalnya, harus dijaga untuk memberi pencerahan kepada masyarakat bahwa penyimpangan kekuasaan masih terus terjadi. Pada titik inilah pengawalan publik yang terepresentasi melalui media secara langsung atau tidak lengsung merupakan kontrol terhadap kinerja media.
Kemauan media untuk menyajikan kebenaran dan fakta, akan diuji di tengah kepungan aneka kepentingan. Fenomena influencer dan buzzer, nyatanya merupakan salah satu “pengganggu” bagi pengetengahan fakta dalam pembentukan opini publik.
Arus masif isu-isu dari media sosial dengan topangan para buzzer membentuk zamannya sendiri, sebagai bagian dari upaya penguatan eksistensi orang atau kelompok, bahkan terutama untuk pencitraan kekuasaan dalam semua level.
Kondisi itu menggambarkan realitas perebutan ruang publik dengan intervensi kekuatan penggalangan opini. Dalam dinamika mekanisme untuk menemukan fakta dan kebenaran, kondisi tersebut hanya bisa dihadapi dengan kehendak mulia media. Ketekunan cek fakta dalam pola-pola liputan investigasi merupakan salah satu opsi.
Problem Investigasi
Problem apa yang dihadapi media dalam praktik jurnalisme investigasi sebagai iktikad menyajikan fakta?
Masalah lebih banyak muncul dari dalam media sendiri. Keterikatan dalam kepentingan bisnis dan akses-akses terhadap lingkaran kekuasaan, misalnya. Ketika diasumsikan bahwa kebenaran “didominasi” oleh sulur-sulur kekuasaan, sejauh mana media bisa menghindarkan diri untuk tidak masuk dalam lingkaran itu?
Tidak perlu terlalu jauh mendiskusikan filosofi “pagar api” (firewall) dalam teori idealisme editorial, akan tetapi apabila dikaitkan dengan upaya menegakkan performa bisnis media, apakah mungkin media total berkomitmen terhadap diri sendiri dan kepada publik untuk memilih isu-isu yang berkapasitas kemaslahatan?
Lalu bagaimana media merawat kehendak untuk mengapungkan isu-isu kuat, seperti skandal Djoko Tjandra, skandal pelarian Harun Masiku, dugaan korupsi di Kementerian Kelautan, dugaan korupsi dana bantuan sosial, atau kasus-kasus jumbo lainnya yang masih menyisakan ceritera? “Pendampingan” terhadap penegakan hukum merupakan bagian dari peran determinatif media, agar berjalan dalam trek dan mencapai penuntasannya.
Kalau urusannya agenda setting, bagaimana media memosisikan pemrioritasan pengawalan kasus-kasus besar itu? Masalah ini bukan berpangkal hanya dari kualitas sumberdaya manusia wartawan dan editor, tetapi lebih beraksen ke opsi sikap kelembagaan perusahaan media.
Refleksi dangkal ini saya kemukakan hanya sebagai ungkapan autokritik ketika masyarakat pers memperingati hari besarnya. Ketika berita ditamsilkan sebagai api, maka kita sendirilah yang bertanggung jawab menjaga nyalanya. Jangan menjadi percik yang membakar, dan tiba-tiba memadam…
— Amir Machmud NS, wartawan SUARABARU.id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah