blank
Stasiun Gundih sebagai tempat pemberhentian KA Kalijaga. Sayang KA Kalijaga itu kini inggal kenangan. Foto : Hana Eswe.

GROBOGAN (SUARABARU.ID)– Pergantian tahun 2019 ke tahun 2020 yang telah dilalui lebih dari sebulan. Meski demikian, justru malah jadi momen yang mengejutkan bagi warga tiga kabupaten yang dilalui jalur kereta api jurusan Semarang-Solo.

Pasalnya, kebijakan PT Kereta Api Indonesia (KAI) menghentikan kereta api (KA) Kalijaga per 1 Desember 2019 menghilangkan satu-satunya kereta yang berhenti di semua stasiun sepanjang perjalanan dari Semarang-Solo. 

“KA Kalijaga hilang, sangat disayangkan sekali, ya. Sebab saya menggunakan KA Kalijaga ini untuk berangkat ke Solo. Rumah saya di Godong, jadi kalau mau ke Solo memang lebih enak menggunakan KA Kalijaga ini karena bisa berhenti di KA Karangjati yang tidak jauh dari rumah saya,” jelas Anissa, warga Desa Anggaswangi, Kecamatan Godong.

Kalijaga, selama ini menjadi andalan warga Kabupaten Grobogan untuk menuju ke Solo atau Semarang. Pasalnya, keberadaan stasiun-stasiun tempat pemberhentian KA Kalijaga ini berada di pelosok pedesaan memudahkan mereka yang hendak berpergian ke Semarang atau Solo.

“Misalnya saya dari Godong ini, stasiun Karangjati merupakan stasiun terdekat dari rumah saya. Itu lebih memudahkan dibandingkan saya harus naik bus dulu sampai ke Terminal Purwodadi. Kemudian, naik bus umum jurusan Solo yang notabene masih membuat saya deg-degan kalau naik bus tersebut,” ujar Anissa.

Sektor Pariwisata Menurun

blank
Pengganti KA Kalijaga yakni KA Joglosemarkerto yang melayani perjalanan Semarang-Grobogan, Grobogan – Solo – Yogyakarta. Foto : Hana Eswe.

Tidak saja menghilangkan kereta lokal yang selama ini jadi andalan warga Grobogan hingga Solo. Dengan dihapuskannya KA Kalijaga ini, sektor pariwisata di ujung selatan Kabupaten Grobogan juga mengalami penurunan drastis.

“Pemerintah dari pusat hingga daerah sedang gencar menghidupkan sektor pariwisata, bahkan gencar berpromosi. Tapi, paska hilangnya KA Kalijaga, kunjungan dari Kota Semarang dari ribuan perbulan tinggal ratusan bahkan kadang tinggal puluhan,” keluh Pujiyanto, pegiat wisata Kabupaten Grobogan.

Tidak saja wisata, namun dampak negatif juga sangat dirasakan pelaku usaha mikro, khususnya pengrajin oleh oleh khas kabupaten Grobogan. 

“Banyak pedagang ikan di sekitar Kedung Ombo yang dulunya laris, sekarang jarang pembeli. Padahal bisa membawa wisatawan dari Kota Semarang ke Grobogan dan Boyolali tidak mudah, sampai ada terobosan dari pelaku usaha wisata dan biro perjalanan. Tapi, saat banyak yang tertarik dan program sudah jalan malah sarana dihentikan PT KAI,” tambah Puji, yang berharap penghidupan kembali kereta lokal tersebut.

Pengganti KA Kalijaga ini yaitu KA Joglosemarkerto yang hanya berhenti di Stasiun Gundih. Namun, jam keberangkatan dari Semarang ke Gundih  hanya pada sore hari yakni pukul 14.43 WIB dengan harga tiket Rp 35 ribu per orang.

Sedangkan, untuk keberangkatan pagi hari hanya dilayani Joglosemarkerto dengan waktu tempuh kurang lebih 10 jam.

 “Selama ini, setahu kami kereta dihentikan jika sepi penumpang. Ini ramai kok dihentikan, kami bingung juga,” imbuhnya.

Penghentian KA Kalijaga, berdampak langsung pada tingkat kunjungan ke objek wisata Candi Joglo, Purwodadi. Dimana, obyek wisata yang menjual sasana pulau Dewata Bali, kehilangan pengunjung dari lebih dari 4.000 pengunjung per bulan. 

“Program promo hasil kerjasama antara pengelola wisata dengan biro wisata telah mampu membuat sekitar 1.000 pengunjung asal Kota Semarang dan sekitarnya mau datang dan berwista ke Grobogan. Tapi, sejak dihentikan PT KAI, kami sementara ini harus andalkan wisata lokal,” keluh Muhadi, pengelola Candi Joglo Purwodadi.

Selain itu, KA Kedungsepur yang menjadi andalan untuk jurusan Semarang Poncol-Ngrombo PP tidak banyak memberikan kontribusi bagi pelaku wisata. Pasalnya, KRDE tersebut saat ini juga memberangkatkan penumpangnya 06.20 WIB dari Stasiun Semarang Poncol dan pukul 17.10 WIB dari Stasiun Ngrombo.

Meski jaraknya antara sampainya KA Kedungsepur di Grobogan dengan waktu berangkat ke Semarang kurang lebh 7 jam, namun penumpang kereta ini selalu penuh lantaran banyaknya pekerja dari Semarang ke Grobogan.

“Dulu saya kos di Purwodadi, tetapi setelah ada KA Kedungsepur ini, saya memilih nglajo. Berangkat dari rumah jam enam pagi, sampai stasiun langsung naik KA tersebut. Keberangkatan dari Ngrombo ke Semarang juga selisih satu jam dengan jam kerja habis. Lebih hemat waktu, biaya, dan tentunya saya bisa menyisihkan uang untuk keperluan yang lain,” ungkap Tia, warga Semarang.

Saat ini, warga harap-harap cemas agar kereta KA Kalijaga ini dapat dioperasikan kembali. Sebab, pengelolaan KA hanya dapat dilakukan pemerintah, khususnya PT KAI yang juga ditarget pemasukan.

“Kami hanya bisa berharap jalur penghubung pantura dengan selatan yang selama ini jadi andalan jangan sampai dimatikan. Biar warga yang hendak ke Solo atau ke Semarang bisa kembali normal,” harap Muhadi.

Hana Eswe-Wahyu