Terkait tuntutan Jaksa Penuntut Umum tersebut, diharapkan lembaga pengawas eksternal, seperti Kompolnas , KPK, Kemsetneg, Komisi Kejaksaan Republik Indonesia, Komisi Yudisial, Kemenko Polhukam RI, BPK, Ombusman, dan Komnas HAM RI supaya turut juga mengawasi dan memantau semua proses hukum yang berjalan, bukan hanya kepada kepada 4 (empat) terdakwa pelaku tambak di Kawasan Strategi Pariwisata Nasional (KSPN) Karimunjawa saja.
Akan tetapi dilakukan juga pengawasan terhadap lembaga dan pejabat yang menangani perkara tersebut. Untuk mengantisipasi jangan sampai kejadian seperti kasus Ronald Tannur yang menyeret hakim sebagai penegak hukum yang berperan memutuskan perkara, bisa leluasa melakukan pemufakatan jahat bersama para pelaku kejahatan demi terbebasnya dari segala dakwaan.
Atas pelajaran berharga dari kasus Ronald Tannur, masyarakat berharap dan optimis Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Jepara bisa bertindak progresif dengan mengedepankan nilai-nilai keadiilan substantif, serta kemanfaatan dalam pengambilan keputusan. Karena hakim tentunya tidak hanya mengedepankan aspek keadilan formal yang sempit atau kepastian hukum semata, tapi bisa melihat secara utuh persoalan lingkungan dan dampak prospek Karimunjawa sebagai Kawasan Strategi Pariwisata Nasional dan Cagar Biosfer Dunia.
Untuk bisa memutus perkara ini berdasarkan hati nurani dan menolak segala bentuk intervensi, Sehingga dapat menghasilkan putusan yang seadil-adilnya atau ex aequo et bono.
Kemudian jika dilihat dari unsur “dengan sengaja” merujuk pada kesengajaan (dolus) dari tindakan yang dilakukan oleh keempat terdakwa, yaitu penyalahgunaan zona taman nasional dengan pemasangan pipa inlet pada zona yang diatur untuk hal lain.
Hal ini dapat dibuktikan dengan pemenuhan unsur willen en wetten (menghendaki dan mengetahui). Menurut fiksi hukum “presumptio iures de iure”, semua orang dianggap mengetahui hukum sehingga keempat terdakwa dapat dianggap mengetahui sistem zonasi Taman Nasional Karimunjawa dengan seluruh batasan-batasannya.
Jika dihubungkan dengan kutipan dari Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman yang menegaskan bahwa isu kesejahteraan Hakim tidak bisa menjadi alasan pembenar untuk korupsi. Hal ini disampaikan, menanggapi atas 3 hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang ditangkap karena kasus suap vonis bebas Ronald Tannur.
Jika tujuannya perbaikan kesejahteraan, sebagai masyarakat kita sangat setuju, tentu bertahap disesuaikan dengan kemampuan negara dan perbaikannya harus menyeluruh. Tidak boleh hanya di Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya.
Kita mendukung perbaikan kesejahteraan untuk kepolisian, untuk kejaksaan, dengan diikuti suatu pengawasan. Tapi ketika ada para penegak hukum melakukan pemufakatan jahat untuk membelokkan suatu kebenaran, maka jangan diberi jabatan, jangan diberi kesempatan karena akan mencoreng dan membuat malu institusi.
Sehingga kasus suap terhadap penegak hukum tersebut sudah saatnya ditindak yang seberat-beratnya dan menjadi pelajaran berharga untuk para hakim lainnya. Hakim yang menerima suap dapat dikenakan sanksi pidana dan pemberhentian tidak dengan hormat, dapat dikenakan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun.
Hakim yang menerima suap juga dapat dikenakan pidana denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta. Selain itu, menerima suap juga merupakan tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001.
Penulis adalah Ketua Ajicakra Indonesia